1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Polisi Temukan Dua Ton Kokain di Gambia

11 Juni 2010

Pejabat urusan Obat Terlarang dan Kriminalitas PBB memperkirakan, melalui Gambia pertahunnya diseludupkan sampai 150 ton kokain. Ini menjadi bukti lainnya, bahwa Afrika Barat dipergunakan sebagai tempat transit.

https://p.dw.com/p/NoMe
Beberapa laki-laki berdiri menunggu speedboat, yang diduga membawa kokain, merapat di dekat satu pelabuahan di Guinea-BissauFoto: AP

Di bawah tanah, dalam sebuah gudang tidak jauh dari ibukota Gambia, Banjul, pihak kepolisian berhasil menemukan kokain seberat dua ton, yang di pasaran harganya lebih dari 800 juta Euro. Sebelum penemuan ini, polisi lebih dulu telah menangkap beberapa tersangka, yang berasal dari Nigeria, Ghana serta Venezuela, juga dari Belanda.

Di tahun-tahun terakhir, bukan saja Gambia, akan tetapi seluruh wilayah Afrika Barat berkembang menjadi wilayah transit bagi perdagangan obat terlarang internasional.

Cyriaque Sobtafo, direktur regional badan PBB yang mengurusi Obat Terlarang dan Kriminalitas, UNODC, mengatakan, "Antara tahun 2005 dan 2007, tiba tiba kami melihat satu perkembangan yang dramatis. Berton-ton kokain telah kami sita. Dan ini membuat kami khawatir. Kami memperkirakan, antara tahun 2006 dan 2008, sekitar 40 ton kokain masuk ke Eropa melalui Afrika Barat, nilainya puluhan ribu Dollar. Perdagangan kokain di Afrika Barat meningkat dengan tajam dan seluruh negara di wilayah ini juga terlilit.“

Kokain tersebut diproduksi di Amerika Selatan, terutama di Kolombia, Peru dan Bolivia, dari sana di kirim ke Afrika Barat, biasanya dengan kapal-kapal besar. Di sepanjang pesisir Afrika Barat, kokain tersebut di pindahkan ke kapal-kapal yang lebih kecil dan dibawa ke Benin, Guinea Bissau atau ke Guinea Conakry. Sementara jalur udara yang dipakai dalam perdagangan obat bius adalah Siera Leone dan Mauritania.

Lalu, melalui jalan darat, obat terlarang tersebut dikirim ke Sinegal, Mali atau Gambia. Di negara-negara inilah, bubuk kokain dikemas ke dalam kantong plastik atau kondom. Dengan menelan terlebih dahulu kokain yang telah dikemas ini, para kurir obat terlarang membawanya ke Eropa dengan menumpang pesawat. Menurut PBB, 27 persen kokain yang diperdagangkan di Eropa datang melalui Afrika Barat.

Guru besar kriminologi di Universitas Leuven, Belgia, Letizia Paoli, memaparkan, bagaimana wilayah Afrika Barat dapat dijadikan tempat transit obat bius. "Pemerintahan di Afrika Barat pada umumnya lemah. Inilah yang menyebabkan, negara-negara tersebut dapat dengan leluasa dimanfaatkan bagi perdagangan narkoba dan kegiatan ilegal lainnya. Pemerintah hampir tidak berdaya untuk mengawasi perbatasan negara. Selain itu, di Eropa bermukim juga warga Afrika Barat. Dan segelintir kecil dari komunitas ini dapat dimanfaatkan untuk menyeludupkan kokain dan menjualnya di Eropa.“

Pada awalnya, kartel-kartel Amerika Selatanlah yang mengontrol perdagangan narkoba ini. Sekarang, sudah banyak pedagang yang berasal dari Afrika Barat sendiri. Dan munculah di wilayah ini satu industri narkoba. Selain berbagai jenis obat terlarang, bahkan, kini heroin mulai diproduksi sendiri di beberapa wilayah Afrika Barat.

Sampai sekarang para pemerintahan negara di Afrika Barat belum banyak bertidnak dalam membendung penyebaran kartel obat bius. Ini dikarenakan kendala-kendala yang dihadapi pemerintah, seperti luasnya wilayah gurun dan wilayah pesisir yang sulit diawasi, serta tidak adanya peralatan yang memadai, seperti pesawat atau kapal patroli, yang dimiliki pihak kepolisian. Dan hal inilah yang membuat kepolisian Eropa sejak musim gugur tahun lalu mulai melancarkan patroli di depan perairan Afrika Barat.

Akan tetapi, semua usaha tidak akan berarti. Bagaimanapun gencarnya aksi memutuskan jaringan obat bius, jika di Eropa kokain masih dikonsumsi dan kemiskinan masih melilit Afrika Barat, perdagangan obat bius akan tetap terus berlangsung..

Brigitta Moll/Yuniman Farid

Editor: Hendra Pasuhuk