1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jokowi Dihujani Kritik Karena Pasal Penghinaan Presiden

Hendra Pasuhuk7 Agustus 2015

Pemerintahan Jokowi ajukan RUU KUHP dan menghidupkan lagi pasal-pasal larangan penghinaan presiden. Kritik pun bermunculan dari berbagai kalangan, karena di era Presiden Yudhoyono, pasal itu ditolak Mahkamah Konstitusi.

https://p.dw.com/p/1GBgr
Indonesien Neuer Präsident Joko Widodo 20.10.2014
Foto: Bay Ismoyo/AFP/Getty Images

Presiden Joko Widodo mendapat kecaman dari berbagai pihak, setelah mengajukan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat pasal-pasal tentang larangan penghinaan presiden. Jokowi disebut-sebut ingin kembali menerapkan aturan yang pernah digunakan mantan diktator Suharto untuk membungkam lawan-lawan politiknya selama 30 tahun lebih.

Rancangan Undang-Undang (RUU) itu sebenarnya digodok pada masa pemerintahan Preisden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan dukungan tim ahli hukum. Namun Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2006 menolak penerapan pasal-pasal penghinaan presiden.

Mahkamah Konstitusi ketika itu berpendapat, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan semangat demokrasi yang ingin dikembangkan sejak jatuhnya Suharto. Pasal penghinaan presiden. MK menilai, pasal-pasal bisa menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi selain berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan kebebasan berekspresi.

Ditolak Mahkamah Konstitusi

Dalam RUU KUHP yang baru itu, pelaku penghinaan presiden diancam ganjaran hukuman penjara sampai lima tahun.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon dari Partai Gerindra mengecam Presiden Jokowi yang disebutnya ingin menghidupkan kembali sesuatu yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

"Saya khawatir Pak Jokowi belum baca keputusan MK tersebut. Atau malah jangan2 Pak Jokowi tidak tahu rancangan usulan pemerintah ini?" tulis Fadli Zon lewat akun twitter pribadinya @fadlizon.

Tahun 2006, Eggi Sudjana yang mengajukan judicial review (peninjauan) atas Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP tentang Penghinaan Presiden. Mahkamah Konstitusi kemudian melalui putusannya pada 7 Desember 2006 menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan Uji Materi terhadap Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP terkait Penghinaan terhadap Presiden/Kepala Negara itu. Dengan adanya keputusan MK Nomor 013-022-/PUU-IV/2006 itu, maka klausul-klausul tentang Penghinaan Presiden bisa dianggap tidak berlaku lagi.

Tim komunikasi bela keputusan Presiden

Anggota Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki menerangkan, usulan pemerintah memasukkan lagi pasal larangan penghinaan terhadap Presiden dalam RUU KUHP adalah untuk melindungi Presiden dari fitnah. Menurut dia, usulan pasal tersebut berbeda dengan pasal larangan penghinaan yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006.

"Kalau sekarang yang di KUHP itu pasal karet, siapa pun bisa dikenakan tergantung interpretasi penegak hukum. Kalau yang di RUU yang baru itu, pasalnya lebih jelas," kata Teten di Jakarta, Selasa (04/08).

Teten menambahkan, pasal itu tidak akan membatasi masyarakat yang ingin menyatakan pendapat terkait kepentingan umum. Pasal tersebut, kata dia, hanya akan menjerat pihak-pihak yang melontarkan kritik yang tidak sesuai dengan fakta.

Suharto, yang memerintah Indonesia dengan tangan besi selama lebih tiga dekade sampai 1998, secara rutin mengancam dan memenjarakan para pengeritiknya dengan hukuman berat lewat berbagai pasal anti subversi.

hp/vlz (afp, dpa, rtr)