1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Presiden Turki Akan Tambah Berkuasa?

9 Januari 2017

Parlemen Turki mulai bahas usulan amandemen konstitusi untuk memperluas kekuasaan presiden. Turki diusulkan terapkan sistem presidial. Sebagian oposisi menentang, tapi ada juga yang setuju.

https://p.dw.com/p/2VVnB
Türkei Präsident Recep Tayyip Erdogan
Foto: picture-alliance/dpa/Y. Bulbul

Inilah proyek terbesar dan paling penting presiden Turki saat ini, Recep Tayyip Erdogan. Turki hendak digiring menerapkan sistem pemerintahan presidial. Artinya kekuasaan dan kewenangan presiden akan jauh lebih besar dibanding dalam sistem parlementer yang berlaku saat ini, dimana pemerintahan dipimpin seorang Perdana Menteri.

Partai Kehakima dan pembangunan Turki (AKP) yang sekarang memerintah mengajukan argumen, bahwa kepemimpinan yang kuat akan mendorong tercapainya kesejahteraan. Partai AKP didirikan oleh Recep Tayyip Erdogan yang sekarang jadi presiden Turki. Partai ini sudah mendorong diadakannya perubahan konstitusi menjadi sistem presidial sejak beberapa tahun lalu, saat Erdogan masih menjadi perdana menteri.

Sementara sebagian anggota partai politik yang duduk di bangku oposisi menentang usulan mengubah sistem pemerintahan menjadi presidial. Alasannya, amendemen konstitusi akan menjurus pada pembengkakan kekuasaan presiden dengan gaya memerintah otoriter. Presiden juga bisa memerintah tanpa bisa diaudit dan diimbangi dengan kekuatan lain

.

Türkei Parlamentseröffnung Präsident Recep Tayyip Erdogan
Sidang Parlemen TurkiFoto: Getty Images/AFP/A. Altan

Erdogan jadi sultan baru?

Oposisi terbesar, Partai Rakyat Republik (CHP) menyatakan menolak usulan perubahan konstitusi. Wakil ketuanya, Bulent Tezcan menyatakan itu sama saja dengan penyerahan kekuasaan "kepada istana", yang sudah diambil alih dari kesultanan seratus tahun lalu.

Pendiri negara Turki, Mustafa Kemal Atatürk memilih bentuk demokrasi parlementer untuk menghindari konsolidasi terlalu banyak kekuasaan pada satu tangan. Begitulah situasi Turki di jaman Kesultanan Ottoman.

Tezcan juga mengkaitkan gagalnya kudeta Juli 2016 dengan amandemen konstitusi, sebagai jalan menuju "kediktatoran". Ketua CHP, Kemal Kilicdaroglu mengatakan, yang mengajukan usul perubahan konstitusi "ingin mengubah pemerintahan demokrasi parlementer menjadi rezim totaliter."

Erdogan mulai persiapan infrastruktur

Untuk mempersiapkan kemungkinan disetujuinya perubahan konstitusi, Erdogan perintahkan pembangunan kantor presiden seperti istana di Ankara. Nama aslinya, Ak Saray, menyulut kontroversi. Karena walaupun berarti "istana putih", dalam nama itu juga terdapat nama partainya.

Bangunan itu kini disebut "komplex presidensial", dan pembangunannya dibiayai dengan pajak sebesar 615 juta Dolar. Erdogan sudah pindah ke "istana" itu tahun 2014. Bangunan yang punya 1.100 ruangan itu lebih besar daripada Istana Buckingham di London, juga Istana Versailles di luar Paris, dan Kremlin di Moskow.

Mahkamah tertinggi Turki pada 2015 memutuskan konstruksi itu melanggar hukum dan memerintahkan Erdogan untuk meninggalkan bangunan tersebut. Tapi Erdogan menihilkan keputusan mahkamah tertinggi, dan menyebut itu haknya sebagai pemegang mandat presidensial.

Harus lewati dua putaran dan referendum

Partai AKP adalah kekuatan terbesar dalam parlemen, tetapi kekurangan 14 suara untuk mencapai batas minimal 330 untuk meloloskan usulan dalam parlemen. Menurut peraturan, tiga perlima suara mayoritas di parlemen diperlukan untuk mengesahkan amendemen konstitusi.

Di tahap konsultasi awal, AKP dapat dukungan fraksi terkecil di parlemen, yaitu Partai Gerakan Nasional (MHP), yang berhaluan ultra nasionalis. Walaupun sejumlah anggota MHP menolak ide penambahan kekuasaan presiden, tetapi ketuanya, Devlet Bahceli sudah menyatakan dukungan.

Fakta lain yang tak bisa dilewatkan: anggota AKP juga bisa menolak mendukung usulan tersebut. Ini membuat hasil pengumpulan suara sulit diprediksikan. Proposal perubahan konstitusi harus lolos dua kali pengumpulan suara di parlemen dan disepakati dalam sebuah referendum. Jika lolos di parlemen, referendum direncanakan akan digelar beberapa bulan setelahnya.

ml/as (ap, afp, dpa)