1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Proyek Bantuan Tsunami Yang Gagal

Hendra Pasuhuk25 Desember 2014

Tidak semua proyek bantuan tsunami berhasil menyumbangkan kontribusi bagi keluarga korban dan penduduk setempat. Ada juga proyek yang dibuat asal jadi atau melenceng jauh dari sasaran semula.

https://p.dw.com/p/1EA00
Foto: AP

Bencana tsunami 2004 menyedot perhatian dunia, yang ramai-ramai menggalang simpati dan menyalurkan sumbangan. Berbagai proyek bantuan internasional berhasil membangun kembali kawasan-kawasan yang hancur dan membantu penduduk setempat bangkit kembali menatap masa depan.

Tapi ada juga proyek bantuan yang gagal mencapai target, atau dilaksanakan terlalu terburu-buru sehingga salah sasaran.

Satu tahun setelah bencana tsunami, pejabat kementerian luar negeri Georg Witschel, yang sekarang menjadi Duta Besar Jerman di Jakarta, sudah mengingatkan ada beberapa hambatan dalam penyaluran dana bantuan.

Memang banyak hal sudah dicapai. Tapi banyak dana sumbangan "ditujukan khusus untuk isu-isu tertentu", seperti "anak-anak, sekolah, dan rumah yatim". Akibatnya, banyak proyek tidak sesuai dengan kebutuhan penduduk lokal.

Korupsi dan masalah politik

Georg Witschel ketika itu menjelaskan, setelah tsunami, bantuan Jerman sudah mencapai sekitar setengah juta penduduk di kawasan bencana. Tapi ada masalah karena "kecenderungan korupsi" di beberapa tempat.

Situasi politik yang tidak stabil, misalnya di Sri Lanka, juga jadi kendala bagi tim penolong. Setahun setelah tsunami, kementerian luar negeri Jerman telah merundingkan 295 proyek bantuan di negara-negara yang paling parah dilanda tsunami, yaitu Indonesia, India, Sri Lanka dan Thailand. "Ini kerja keras", kata Georg Witschel waktu itu.

Pemerintah Jerman menganggarkan bantuan 500 juta Euro untuk pembangunan kembali di kawasan bencana. Dana itu disalurkan dalam beberapa tahapan. Sedangkan masyarakat Jerman mengumpulkan sumbangan seluruhnya lebih dari 600 juta Euro.

Proyek-proyek gagal

Setahun setelah tsunami, Thomas Gebauer dari lembaga bantuan Medico International mengeritik bahwa banyak proyek bantuan yang mengabaikan pengetahuan dan pengalaman masyarakat lokal. Akibatnya, banyak proyek itu yang salah konsep.

Sebagai contoh, Gebauer menyebut proyek bantuan di desa Nagapattinam, India. Sebelum tsunami, di desa itu ada 30 perahu nelayan. Setelah tsunami, bantuan berdatangan dan setahun setelahnya ada 120 perahu di desa itu. Tapi kebanyakan penduduk tidak punya cukup uang untuk memelihara dan mengoperasikan perahu-perahu itu. Atau mereka bertengkar karena terlalu banyak orang yang ingin menangkap ikan.

Symbolbild Sri Lanka - zehn Jahre nach dem Tsunami
Foto: picture alliance/AP Photo

"Setiap perahu perlu tiga sampai empat awak kapal. Tapi sekarang hampir semua orang punya perahu. Jadi tidak ada yang mau jadi awak kapal. Akhirnya kami hanya bertengkar", kata seorang nelayan.

Hal serupa juga terjadi di Thailand selatan. Di desa Baan Tha Klang sebelum tsunami ada sekitar 100 perahu nelayan. Karena banyak sumbangan berdatangan setelah tsunami, sekarang ada 400 perahu nelayan.

Terbiasa mendapat uang

Contoh lain, sebuah yayasan Jerman menyalurkan sumbangan dana untuk pembangunan rumah sakit utama di Mahamodara, Sri Lanka. Kini sepuluh tahun kemudian, yang ada baru fondasinya saja. Uangnya hilang entah masuk ke kantong siapa, kata seorang penduduk.

Sekarang, Bank Pembangunan Jerman KfW diminta memberi bantuan senilai 28 juta Euro, agar pembangunan rumah sakit itu bisa dilanjutkan.

Di banyak tempat, organisasi bantuan memberi bantuan uang kepada pengungsi, agar mereka membersihkan daerah tempat tinggalnya. Para pengungsi jadi terbiasa dengan hal itu. Sekarang mereka tidak mau membersihkan desanya, jika tidak diberi uang. Padahal sebelumnya, ada tradisi kerja bersama membersihkan desa.

hp/rn (dpa, ips)