1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Proyek Cigondewah, Mencintai Lingkungan Lewat Seni

25 Maret 2011

Inspirasi menghargai lingkungan hadir dalam instalasi karya Tisna Sanjaya, perupa dari Bandung. Judulnya “Cigondewah, Sebuah Proyek Seni”, yang dipamerkan di Museum Universitas Nasional Singapura.

https://p.dw.com/p/RCpX
Menghargai lingkungan, bisa dimulai dengan cara sederhanaFoto: CC

Pemandangan tak biasa di Museum Universitas Nasional Singapura selama tiga bulan, sejak akhir Februari lalu hingga akhir April mendatang. Sampah plastik berserakan di mana-mana, memenuhi semua sudut ruangan. Sebagian besar bekas kemasan makanan kecil: permen, kripik kentang, mi instan, biskuit, kue hingga es krim. Kendati kering dan sudah dibersihkan terlebih dahulu, tetap saja menyisakan bau yang khas. Bau yang gampang tercium, lebih-lebih oleh hidung warga Singapura, negara kota yang terkenal super bersih.

Inilah pameran unik instalasi karya Tisna Sanjaya, perupa dari Bandung. Judulnya “Cigondewah, Sebuah Proyek Seni”.

Tisna Sanjaya yang sempat studi selama beberapa tahun di Jerman menceritakan proyek yang digarapnya: “Saya diundang ke Museum Universitas Nasional Singapura untuk berpameran. Saya membawa sekitar 3 ton sampah plastik. Berbagai macam contoh air, dalam 50 botol. Air yang sudah terkontaminasi dari berbagai sumber di Cigondewah dan berbagai tempat lain di Bandung yang sudah terkontaminasi. Juga kandang-kandang burung merpati.”

Cigondewah yang menjadi judul pameran ini adalah sebuah kawasan di barat daya Bandung. Kawasan itu kini memunculkan pemandangan ganjil: Sebuah lapangan penuh sampah plastik, dengan bedeng-bedeng besar yang adalah pusat-pusat pengolahan sampah plastik yang dikelola secara tradisional oleh apa pengusaha lokal. Di sepanjang kali, sering juga tampak pekerja pabrik sampah, demikian sentra-sentra itu disebut, membersihkan sampah-sampah plastik yang kotor, terkadang dengan bahan berbahaya. Tisna membawa 120 kandang burung merpati dalam pameran di Singapura. Hal ini terkait pada pengamatannya terhadap kehidupan kemasyarakatan mutakhir warga Cigondewah: “Sekarang desa Cigondewah seperti itu. Kaum lelakinya hanya main burung merpati setiap hari. Sementara kaum perempuannya bekerja keras jadi buruh di pabrik-pabrik pengolahan sampah, yang dihargai dengan upah hanya 25 ribu rupiah per hari. Dari jam tujuh pagi sampai jam lima, kadang jam enam malam.”

Cigondewah adalah kawasan tempat Tisna Sanjaya menghabiskan masa kecil sebagaimana anak kampung pada umumnya. Berlari-lari, bermain bola dan bermacam permainan lain. Juga bermain di sungai yang dulunya, kata Tisna, berair jernih dan biasa dipakai untuk berwudlu sebelum shalat di mesjid. Belakangan Tisna tinggal di kawasan lain di utara Bandung, dan ia kaget tatkala mendapati kenyataan baru di kampung tempat asal orang tuanya. Maka ia pun menjalankan proyek seni ini: “Saya membuat karya seni di Cigondewah dalam bentuk langsung, sejak tahun 2007. Saya mendirikan tempat di bekas tempat pembuangan dan pembakaran sampah. Rupanya kehidupan ekonomi kawasan ini tak dikelola dengan baik oleh pemerintah setempat. Para konglomerat dan pengusaha sewenang-wenanag membuat pabrik-pabrik sekitar sini. Sehingga tanah, sawah yang indah dan subur jadi berubah. Sungai dan sumur jadi terkontaminasi oleh limbah pabrik, jadi keruh dan beracun. Juga ruang bermain bagi anak, sudah tak ada lagi.”

Tisna menambahkan, dulu banyak pancuran tempat mengambil air bersih. Jelas sekarang sudah tak ada. Juga ritual di pancuran saat bulan purnama, yang sudah musnah karena dilarang pemuka agama yang baru, yang menganggapnya bidah dan perbuatan syirik: “Inilah pernyataan seni saya. Bahwa setelah 13 tahun reformasi, yang muncul ternyata adalah rezim kapital. Juga rezim kekerasan masyarakat untuk urusan yang begitu sensitif seperti agama. Maka saya mengambil sikap, untuk mencoba melakukan perubahan mulai dari yang sangat kecil yang bisa saya lakukan, yakni di Cigondewah.”

Maka Tisna pun bekerja sama dengan masyarakat setempat. Dibantu kawan-kawannya sesama seniman Bandung. Untuk mengusahakan sesuatu di kawasan yang sudah begitu berubah itu: “Saya dengan teman dan warga, membangun semacam pusat kebudayaan. Dari uang pribadi, hasil menjual lukisan. Saya membeli tanah bekas pembakaran sampah. Sejak tahun 2007 saya tanami berbagai macam pohon. Tanah yang gersang jadi subur.”

Di atas tanah 500 meter itu ia mendirikan suatu aula dengan arsitektur tradisional, yang merupakan ruang serba guna. Bisa menjadi studio penciptaan, bisa juga menjadi tempat kegiatan masyarakat. Termasuk menghidupkan lagi misalnya seni pencak silat di kampung itu. Belakangan, merasa agak berhasil, Tisna juga berusaha mengembangkan garapannya. Ia mulai mencicil tanah di sebelahnya, yang direncanakannya nanti akan ditanami juga, serta sebagian dialokasikan untuk lapangan bermain bagi anak-anak setempat. Termasuk bermain bola, hobi lama Tisna sendiri, yang kian tak mendapat tempat karena pejabat dan pengusaha sekarang tak bisa membiarkan lahan kosong.

Cigondewah kini menampakan wajah kusam dengan bau menyengat. Di siang hari oleh sampah-sampah yang sedang digarap para pekerja pabrik sampah. Di malam hari lebih menyengat lagi. Karena pada malam hari berlangsung pengolahan sampah plastik hitam keras, dengan cara dicairkan pada sebuah kuali besar, di atas api yang membara.

Jika dulu kuali-kuali itu merupakan lambang dari kesejahteraan pangan warga, untuk membuat dodol kahas Cigondewah kini jadi lambang menurunnya kualitas hidup warga yanag harus bergelut degan sampah dan sebagian menghirup asap pembakaran di atas kuali, untuk membuat dodol plastik yang nantinya dijual ke pabrik-pabrik pengolahan.

Perubahan lain yang menyolok, menurut Tisna, adalah pabrik-pabrik pegolahan padi di masa lalu yang kini menjadi pabrik pengolahan sampah plastik. Heleran, atau mesin pemecah padi kini difungsikan sebagai mesin pemecah plastik bekas. Sayangnya, perubahan ini bukan berarti peningkatan hidup warga, melainkan sebaliknya.

Tisna punya cita-cita besar tentang proyeknya yang sederhana ini: “Mimpi saya adalah, Cigondewah ini bisa menjadi inspirasi untuk perubahan lingkungan hidup di kota Bandung dan di Indonesia.”

Bukan mendadak saja Tisna Sanjaya bergelut masalah lingkungan sebagai tema karya-karya instalasinya. Beberapa belas tahun lalu, misalnya, ia pernah melangsungkan sebuah proyek seni yang berlangsung brbulan-bulan di beberapa kota, yang dilengkapi penanaman pohon. Ia membawa berbagai bibit pohon yang dikenalnya selama masa kecil, seperti honje, bahkan jengkol serta beringin, yang belakangan langka. Ia berkeliling berbagai kota di Jawa, melakukan semacam ritus seni untuk menanam bibit -bibit pohon itu di berbagai lokasi. Khususnya tempat-tempat umum atau kantor yang masih memiliki halaman. Antara lain, kantor polisi dan kantor-kantor pemerintah, sekolah, tak ketinggalan rumah-rumah yang memiliki halaman. Termasuk, rumah saya sewaktu tinggal di Bandung. Betul, rumah saya. Sayang, itu rumah kontrakan yang sudah kembali kepada pemiliknya.

Ging Ginanjar

Editor : Ayu Purwaningsih