1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Keputusasaan Pengungsi Afhanistan

yf/ap24 Februari 2016

Menggapai harapan kehidupan yang lebih baik, lewati berbagai risiko, mereka tiba di Eropa. Tapi perjalanan masih harus diteruskan sampai negara impian, atau dengan paksa dihentikan, dan kembali ke negara mereka.

https://p.dw.com/p/1I0yG
Foto: Getty Images/AFP/S. Mitrolidis

Pintu perbatasan menuju Macedonia di Idomi telah ditutup hari Senin (21/02). Pada hari Selasa-nya (22/02/16), rasa kebingungan menyeliputi para pengungsi Afghanistan saat mereka tiba di Idomeni, perbatasan antara Macedonia dan Yunani. Tidak ada informasi sama sekali, apakah mereka akan diperbolehkan melintasi perbatasan itu atau tidak. Pintu perbatasan tertutup rapat dengan penjagaan yang sangat ketat.

Ketegangan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah pengungsi yang tiba. Sekitar 5000 pengungsi asal Afganistan yang tertahan di sana, tidak dapat melintasi Macedonia untuk melanjutkan perjalanan menuju Jerman.

Mereka mulai melakukan aksi protes, mendesak dibukanya perbatasan. Beberapa orang berhasil memanjat pagar kawat pembatas dan berhasil menyeberang ke wilayah Macedonia.

Dan hari ini, Rabu (23/02/16), pemerintah Yunani mulai membersihkan Idomeni, mengevakuasi pengungsi Afghanistan, diberangkatkan dengan bus menuju tempat penampungan di Athena. Upaya evakuasi mendapat perlawanan dari para pengungsi. Mereka tidak bersedia ditempatkan di penampungan pengungsi, karena khawatir akan dipulangkan ke negara mereka.

“Kenapa mereka tidak memperbolehkan orang Afghanistan melanjutkan perjalanan?” demikiaan dipertanyakan para pengungsi. “Kami tidak akan kembali. Kami akan tinggal di sini. Kami bersedia mati di sini, dan tidak akan kembali ke Afghanistan”, kata-kata itu tertera di spanduk berbahasa Persia.

Ali, pria berusia 25 tahun, yang tiba di Idomeni bersama dengan dua saudara perempuannya serta suami dan anak-anak mereka berharap situasi akan membaik bagi mereka. “Saya meninggalkan Afghanitan karena tidak merasa aman. Saya tidak mau kembali ke Athena. Saya tidak punya uang lagi. Saya ingin pergi ke Jerman,” ujar Ali.

Langkah evakuasi yang diambil terlihat tanpa persiapan sama sekali. Tidak cukup tersedia bus yang bisa memberangkatkan seluruh pengungsi. Tidak ingin dikembalikan ke Athena, banyak pengungsi mulai berjalan menuju pelataran parkir sebuah pom bensin yang terletak sekitar 20 kilometer dari Idomeni.

Putus asa, ketidakpastian dan kebingungan menyelimuti mereka. Banyak pertanyaan, namun tidak ada yang bisa menjawab: Kenapa mereka diperbolehkan pergi ke Idomeni dengan feri atau bus, membeli tiket seharga 100 Euro, jika pintu perbatasan ditutup? Kenapa pejabat berwenang di Yunani tidak memberitahu para pengungsi bahwa mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan menuju Jerman? Pertanyaan utama adalah, bagaimana Yunani akan mampu mengatasi bencana kemanusiaan ini, jika mereka tidak mempersiapkan fasilitas yang memadai?

Yang dapat dikatakan sementara ini adalah bahwa tampaknya krisis pengungsi tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Idomeni akan tetap menjadi pintu utama untuk menuju wilayah utara Eropa. Dan cerita seperti ini pasti akan kembali terulang.