1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rancangan Konstitusi Mesir Diserang Kritik

Matthias Sailer4 Oktober 2012

Diskusi aktual tentang rancangan konstitusi Mesir membuat berang banyak tokoh liberal. Mereka menuduh Ikhwanul Muslimin dan Salafis membatasi hak-hak dasar dan ingin membentuk negara Islam.

https://p.dw.com/p/16JnW
epa03300672 (FILE) A file photo taken with a fisheye lens dated 11 March 2012 shows a meeting of the Egyptian parliament in Cairo, Egypt. Accordingl media reports on 08 July 2012, Egypt's new president, Mohammed Morsi, has overturned a decision by the country's highest court by reinstating the Islamist-dominated lower house of parliament. Morsi, who assumed office on June 30, issued a decree for the People's Assembly, or the legislature, to re-convene and exercise its powers. The Supreme Constitutional Court had last month invalidated the legislature and termed its electoral law unconstitutional EPA/STR +++(c) dpa - Bildfunk+++
Ruang Sidang Parlemen di KairoFoto: picture-alliance/dpa

Konstitusi baru Mesir dibayangi turbulensi besar. Dewan konstitusi pertama sesuai undang-undang dibubarkan oleh Mahkamah Administrasi Tertinggi dan juga dewan konstitusi yang kedua terancam bubar.

Masih banyaknya proses di pengadilan terhadap institusi Mesir, menjadikan amat sulit mengawasi semua hal. Sidang dewan konstitusi yang sedang berlangsung, didominasi kelompok Islamis dan membahas rancangan konsitusi yang sudah hampir matang serta diperdebatkan dengan sengit.

Apakah dewan konstitusi ini, juga akan dibubarkan atau tidak, akan diputuskan oleh mahkamah tata usaha negara Mesir pekan mendatang. Keputusan yang sebenarnya sudah harus dikeluarkan Selasa (02/10) kembali ditunda.

Beschreibung: Ägyptische Autoren und Publizisten demonstrieren für eine neue Verfassung für alle Ägypter. Rechte: Nael Eltoukhy (DW Korrespondent in Ägypten), 09.04.2012
Intelektual Mesir aktif kritik rancangan konstitusi baruFoto: DW

Sementara itu serangan terhadap Dewan Konstitusi terus berlanjut. Ragab Saad Taha, ilmuwan pada Pusat Kajian untuk Hak Asasi Manusia juga memiliki rasa skeptis seperti banyak pakar lainnya. Kritik sudah dilontarkannya sejak kualifikasi anggota Dewan konstitusi. „Sidang konvensi konstitusional mengalami krisis besar. Di satu sisi akibat dominasi Islamis, tapi di sisi lain juga karena kurangnya anggota Dewan konstitusi yang berkualifikasi. Hampir tidak ada pakar untuk hukum konstitusi.“

Pembatasan Hak-Hak Dasar

Meski demikian sebagian besar kritik berdasarkan pada realita. Terutama kubu liberal menuduh sidang Dewan konstitusi yang didominasi anggota Ikhwanul Muslimin dan Salafis antara lain ingin membatasi hak-hak dasar.

Ragab Saad Taha mengritik pembahasan mengenai pembatasan kebebasan informasi. “Ada sebuah pasal yang mengijinkan pelarangan penyebaran informasi, jika itu menyangkut keamanan nasional. Misalnya pemerintah atas nama keamanan nasional melarang Universitas Amerika di Kairo menggunakan buku-buku sejarah tertentu.” Buku-buku yang dimaksud membahas antara lain tentang militer yang berkat propaganda puluhan tahun, menikmati status pahlawan di kalangan masyarakat Mesir.

Ragab Saad Taha, Wissenschaftler am Cairo International Institute for Human Rights Studies; Cairo 30/09/12; (mögliche Bildunterschrift: Ragab Saad Taha kritisiert die mangelnde Kompetenz vieler Mitglieder der Verfassungsgebenden Versammlung) All copyrights by Matthias Sailer
Ragab Saad TahaFoto: Matthias Sailer

Buku mengenai militer yang terlalu kritis tidak dikehendaki. Memang larangan ini masih berada di bawah konstitusi yang berlaku saat ini, namun prinsipnya sama. Karena tidak ada definisi untuk istilah “keamanan nasional”, maka paragraf semacam itu dapat disalahgunakan oleh pemerintahan masing-masing.

Kekhawatiran masih terus berlanjut. Banyak kritisi berpendapat, bahwa Ikhwanul Muslimin dan Salafis ingin membentuk negara Islam. Salafis telah meminta agar cendekiawan Islam di Universitas Al Azhar di masa mendatang memutuskan apakah undang-undang dapat dipadukan dengan prinsip hukum Islam. Universitas Al Azhar adalah salah satu pusat terpenting untuk penetapan hukum Islam Sunni. Bagi Ragab Saad Taha, ini berarti di atas parlemen terpilih terdapat institusi keagamaan.

Kebebasan Beragama Terancam

Mahmoud Mostafa Saad, ketua urusan pers Partai kebebasan dan Keadilan Ikhwanul Muslimin mengatakan: “Universitas Al Azhar akan dilibatkan dalam diskusi pertimbangannya, tapi keputusan akhirnya tetap akan dilakukan oleh parlemen. Mayoritas sidang Dewan Konstitusi sepakat bahwa institusi ini hanya merupakan dewan penasihat.”

Selain itu yang juga mungkin dibatasi adalah kebebasan berkeyakinan. Salafis dan Ikhwanul Muslimin tidak meragukan bahwa hanya warga Muslim, Kristen dan Yahudi yang diijinkan melakukan praktik agamanya. Tapi tidak misalnya untuk warga minoritas Bahai.

Osama Nour El-Din, Leiter des wissenschaftlichen Dienstes der Freiheits- und Gerechtigkeitspartei; Cairo 19/9/12; (mögliche Bildungerschrift: Osama Nour El-Din ist für eine Begrenzung der Religionsfreiheit) All copyrights by Matthias Sailer
Osama Nour El-DinFoto: Matthias Sailer

Osama Nour El-Din, pimpinan urusan keilmuan Partai Kebebasan dan Keadilan menyampaikan alasan dalam pernyataan berikut: “Warga Mesir seiring perjalanan waktu tidak pernah memeluk agama lainnya. Tradisi kami tidak mengijinkan kepercayaan ini diterima di dalam masyarakat, karena itu akan memicu banyak konflik di masyarakat.”

Apakah Dewan Konstitusi akan Bubar?

Untuk lebih memberi bobot pada kritiknya, anggota non Islamis dari Konvensi Konstitusional Mesir kini menggalang persatuan. Mereka kini bahkan mempertimbangkan membentuk Dewan Konstitusi alternatif. Meski demikian sebelumnya upaya senada mengalami kegagalan.

Juga seandainya Dewan Konstitusi saat ini dibubarkan, amat kecil kemungkinannya hal itu akan mengubah keadaan, menurut pendapat Ragab Saad Taha. „Jurubicara Ikhwanul Muslimin mengatakan, bahwa ketua sidang parlemen akan ditugaskan kembali dengan anggota yang sama. Jadi rancangan konstitusi saat ini masih akan terus diolah.“