1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Referendum Halangi Kuil Buddha

19 Februari 2012

Penduduk kota kecil di Austria menghentikan proyek pembangunan pusat agama Budha terbesar Eropa, yang dibiayai seluruhnya lewat prakarsa swasta.

https://p.dw.com/p/145f3
Alun-alun utama Gföhl, AustriaFoto: Creative Commons

Waldviertel, kawasan di barat laut Austria, betul-betul alami. Desa-desa cantik seperti di lukisan, terpisah dari keramaian dunia. Sebuah tempat yang penuh energi positif, demikian penilaian biksu Budha Bop Jon Sunim, yang sudah bertahun-tahun berkeliling dunia sebagai misionaris.

Menurut pria asal Korea Selatan berusia 60 tahun itu, desa Gföhl yang berpenduduk 3.700 jiwa cocok untuk lokasi pembangunan kuil Budha setinggi 30 meter, dapat menampung 200 orang. Sebuah pusat umat Budha di Eropa layak berdiri di tempat itu, dimana tak pernah terjadi apa-apa. Namun proyek itu memecah pendapat warga dan menjadi perbincangan sejak berbulan-bulan.

Seorang perempuan mengatakan, "Kami betul-betul tidak memerlukannya." Seorang pria menukas, "Saya pikir, kita harus mendukungnya. Orang harus terbuka pada dunia, termasuk kita di Waldviertel." Lainnya mengatakan, "Tema ini betul-betul membuat panas."

Suara keras populis kanan

Sebuah yayasan swasta akan mendanai proyek pembangunan kuil Budha tersebut. Walikota Gföhl semula tak punya keberatan. Dalam proyek itu ia melihat peluang agar kota kecil itu dikenal dan potensi pariwisata. Namun politisi dari partai populis kanan FPÖ dan ZPÖ ikut berkecimpung di arena permainan. Bagi mereka, apa yang tengah berlangsung di Gföhl menyangkut pertahanan oleh dunia barat.

"Ranah kebudayaan kita yang indah tidak boleh diganggu oleh pembangunan semacam ini," kata anggota parlemen FPÖ Niederösterreich Gottfried Waldhäusl dalam sebuah konferensi pers. "Gföhl dan Waldviertel butuh stupa Budha sama seperti Roma butuh kios Kebab di lapangan Santo Petrus."

Anggota parlemen Eropa dari partai BZÖ Ewald Stadler tak mau ketinggalan. Ia menerangkan dalam sebuah diskusi bahwa "Itu kuil berhala. Sebagai umat katolik saya tak bisa menyetujui hal seperti itu. Kita tidak membutuhkannya di Waldviertel.“

Kurang transparan

Reaksi yang ditunjukkan para politisi seperti Stadler lebih keras daripada gereja. Uskup Klaus Kung, kepala biara Altenburg yang juga berlokasi di Waldwiertel, tidak menentang rencana pembangunan kuil Budha. Tetapi Kung menyinggung kurangnya transparansi dalam rencana itu.

"Jika saya ditanya, jelas saya tidak mengkuatirkan pembangunan stupa di Gföhl", tulis Küng dalam koran terbitan keuskupan „Kirche bunt". Kung menyinggung tema yang sensitif. Jika wakil dari proyek pembangunan ditanya mengapa jusru ingin membangun stupa di Gföhl, maka yang muncul terutama jawaban tak jelas tentang adanya ‚hubungan baik' dengan tempat itu.

Juga tak disebutkan siapa yang tampil sebagai pihak yang mengajukan permintaan ijin pembangunan, sang biksu, yayasan, atau orang lain? Mereka tidak menyebutkan, mungkin karena kuatir akan pernyataan politisi populis kanan Ewald Stadler yang bertekad mengajukan tuntutan hukum terhadap rencana pembangunan itu.

Dan pembiayaan proyek pembangunan itu masih terbuka, dengan sumber ‚sumbangan dari seluruh dunia'. Walau agama Budha tidak mengenal organisasi yang terpusat, Elisabeth Lindmayer yakin umat di seluruh dunia akan menyumbang untuk pembangunan Stupa di Gföhl. Yayasan yang ia pimpin akan mengorganisir masalah pembiayaan.

Hormati keputusan

Walikota Simlinger mendeteksi adanya penolakan. Bukan ia, melainkan warga yang harus menentukan. Sabtu 67 persen menolak, 33 persen mendukung. Partisipasi pemilih mencapai 52%. Bagi walikota Simlinger ini hasil yang mengikat. "Saya kira ini merupakan isyarat kematangan masyarakat kami dalam hal demokrasi, seperti yang saya pernah katakan."

Elisabeth Lindmeyer memandangnya berbeda. Kini ia kembali pada pencarian tempat yang tepat bagi stupa Budha. "Kami menghormati keputusan warga. Lagipula dalam agama Budha tak ada istilah menang atau kalah."

Tetapi di Gföhl tidak mungkin mengubah energi negatif menjadi kekuatan positif. Kebencian diasah sedemikian rupa, dalam dimensi yang tak mungkin tertahankan olehnya, kata Lindmeyer, di sebuah negara dimana kebebasan beragama berlaku secara luas. Kebebasan yang tak bisa dipahat dalam prasasti Waldviertel, Austria.

Andreas Meyer-Feist/ Renata Permadi

Editor: Luki Setyarini