1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

011210 OSZE Astana

1 Desember 2010

Setelah sebelas tahun lelap, Organisasi Keamanan dan Kerjasama Eropa OSCE, kembali dihidupkan. Para delegasi 56 negara anggota OSCE menyerukan agar organisasi itu segera direformasi.

https://p.dw.com/p/QNeQ
Foto: DW/Esther Broders

Di antara friksi mengenai isu-isu fundamental seperti hak azasi kemanusiaan dan kedaulatan negara, para wakil negara di pertemuan OSCE di Kazakhstan menyerukan agar organisasi itu menjalani reformasi. Sekjen PBB Ban Ki Moon menekankan bahwa fungsi OSCE sebagai penengah itu penting dan perlu diperkuat.

Ban Ki Moon menunjuk pada krisis di Kirgistan dan penanganan masalah itu sebagai contoh positif, "Dengan kekuatan bersama PBB, OSCE, Uni Eropa dan yang lainnya berhasil menyelenggarakan bantuan segera dan memberikan dukungan kepada rakyat Kirgistan. Ujian berikut menunggu kita di Afghanistan. Juga di sana kita perlu menjamin adanya kerjasama yang erat, bahwa proses reformasi yang berlangsung akan berlanjut. Agar dapat membangun struktur yang stabil, kita harus terlibat untuk janka panjang di Afghanistan. Dan karena itu, PBB ingin agar OSCE memikul tanggung jawab yang lebih besar. "

Keinginan agar OSCE berperan lebih besar juga disampaikan oleh Presiden Kazakhstan pada pembukaan konferensi. Ia menilai forum tersebut bisa memperluas isu yang ditanganinya dan membentuk sejumlah lembaga baru di bawahnya. Namun tampaknya masih banyak masalah yang mengganjal, sebelum OSCE bisa kembali mengembangkan sayapnya.

OSZE Gipfel Tagung Astana
Foto: DW/Esther Broders

Salah satu masalah diantaranya adalah persaingan lama antara Amerika Serikat dengan Rusia. Di Astana, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton mengungkit masalah perang Kaukasus pada pertengahan 2008. Menurut Clinton, kondisi di kawasan tersebut perlu dipantau lebih dekat oleh OSCE. Perang antara Rusia dan Georgia setahun lalu, memperburuk situasi di Kaukakus.

Pengakuan Rusia terhadap kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abkhasia, yang memisahkan diri dari Georgia, meniup gejolak separatisme di Kaukasus. Sengketa mengenai kedua wilayah itu hanyalah satu contoh dari sekian banyak konflik regional di wilayah OSCE.

Bersama negara-negara Uni Eropa, Clinton mendesak agar ditemukan solusi bagi negara-negara yang ingin merdeka. Tuturnya, "Krisis regional dan konflik lintas batas merupakan ancaman bagi kita semua. Konflik yang terus meradang itu sangat berbahaya dan menempatkan negara-negara demokratis dibawah tekanan besar. OSCE dulu dibentuk untuk mengatasi tantangan-tantangan rumit. Ini hanya bisa dilakukan apabila semua negara anggota mendukung institusi dan misi OSCE ini."

Negara anggota tak ingin OSCE dianggap sebagai macan ompong. Tuntutan modernisasi terdengar lantang dari semua sudut. Namun bagaimana bentuk pembaharuan itu, belum dapat dijabarkan. Setiap negara mengajukan pendapat yang berbeda, kadangkala juga bertentangan.

Beberapa negara menginginkan agar OSCE nanti lebih mengurusi masalah keuangan dan ekonomi. Sementara Kazakhstan dan Russia ingin membentuk sebuah kawasan keamanan yang membujur dari Vladivostok hingga Vancouver. Presiden Rusia Dimitry Medvedev mengeluhkan bahwa di dalam OSCE tidak ada aturan jelas. Di pihak lain, citra OSCE semakin tercemar karena negara tuan rumah saat ini dituding sebagai pelanggar Hak Azasi Manusia.

Kanselir Jerman Angela Merkel menggambarkan KTT OSCE di Astana sebagai peluang untuk berintrospeksi dan mengkritisi kekurangannya. Merkel mengingatkan, sejak berakhirnya perang dingin, banyak sudah capaian OSCE. Meski begitu, masih banyak lagi yang harus dilakukan dan dibutuhkan rancangan tindakan yang konkrit. Tapi, belum pasti apa itu bisa disepakati sampai akhir KTT pada Kamis (02/12) ini di Astana.

Esther Broders/AFP/Edith Koesoemawiria
Editor: Christa Saloh