1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Reformasi Konstitusi di Maroko

2 Juli 2011

Mayoritas warga Maroko menyetujui reformasi konstitusi. Dalam 25 tahun terakhir, Maroko melewati sejumlah pembukaan. Namun reformasi konstitusi 2011 lebih dari sekedar reaksi atas perubahan yang terjadi di Afrika Utara.

https://p.dw.com/p/11nwy
epa02804568 A Moroccan polling official sits in front of two piles of voting papers reading in Arabic 'Yes' (L) and 'No' (R) during a referendum on constitutional reform at a polling station in Sidi Moumene, near Casablanca, Morocco, 01 July 2011. According to media reports, Moroccans began voting on 01 July in a referendum on constitutional curbs to the powers of King Mohammed VI, a vote that follows months of pro-democracy rallies. More than 13 million people were eligible to vote for or against a new constitution to replace the current 1996 version. EPA/KARIM SELMAOUI
Referendum di MarokoFoto: picture-alliance/dpa

Tema-tema yang didiskusikan dalam reformasi konstitusi Maroko tidak baru lagi. Sejak penyerahan kekuasaan kepada Muhammad VI tahun 1999, ada debat terbuka tentang identitas nasional negara itu, tentang status Raja Muhammad, juga tentang pembatasan kuasa kepala negara.

Tahun 2001 Muhammad VI menyatakan dalam pidatonya, bahasa dan kebudayaan asli Berber adalah elemen utama identitas nasional. Ini adalah kesuksesan bagi gerakan Berber di Maroko.

Dibanding dengan negara tetangga Aljazair, dan juga dengan negara-negara Arab lainnya, yang mendiskriminasi kelompok masyarakat etnis, orang dapat menginterpretasi pidatonya sebagai awal revolusi kebudayaan.

Mengakui Kebudayaan Berber

A man wearing a t-shirt which has "I say yes to constitution" printed on it ,holds a Moroccan flag in the street of Casablanca, Thursday June 30, 2011, in support of a Yes tvote to the Referendum for the new constitution expected on July 1. In the rear many houses show posters of Morocco's King, national flags and banners from left to right reads "I say yes to constitution", "Neighborhood residents Sidna renew their allegiance to King Mohammed VI". (Foto:Abdeljalil Bounhar/AP/dapd)
Referendum tentang reformasi konstitusi di MarokoFoto: AP

Pendirian institut untuk kebudayaan Berber tahun 2002, media yang semakin beranekaragam dalam salah satu dialek Berber serta pelaksanaan pelajaran bahasa di sekolah-sekolah Maroko adalah langkah selanjutnya menuju reformasi konstitusi tahun ini.

Pengakuan Tamazight sebagai bahasa nasional kedua bersama bahasa Arab lewat reformasi konstitusi adalah langkah yang tepat untuk menegaskan pluralitas masyarakat. Sekitar 40% rakyat Maroko adalah orang Berber.

Tetapi bukan mereka saja yang mendapat perhatian Muhammad VI. Dari awal ia selalu menyinggung pluralitas masyarakat yang juga mencakup orang Arab, Afrika, suku-suku di selatan Sahara dan andalusia. Dalam konteks diskusi persatuan nasional di daerah itu, langkah ini lain daripada yang lain.

Juga pertanyaan, seberapa sucinya monarki, didiskusikan secara umum sejak ia mengambil alih kekuasaan. Dua pekan sebelum terjadinya serangan di Casablanca, 2003 lalu, majalah mingguan Le Journal hebdomadaire menerbitkan artikel berjudul "Le sacré contre la démocratie?" (Yang Suci Kontra Demokrasi).

Serangan-serangan itu terus mempertajam diskusi, karena mempertanyakan monarki di bawah pimpinan raja yang bagi banyak warga konservatif sangat tidak berpengalaman.

"Masa Sengsara" di Bawah Hassan II

Morocco's King Mohammed VI casts his vote in a polling station in Rabat, Morocco, Friday Jul 1, 2011. The King voted in the referendum on the new constitution. Moroccans vote Friday on whether to adopt a new constitution that the king has championed as an answer to demands for greater freedoms but that protesters say will still leave the monarch firmly in control.(Foto:Abdeljalil Bounhar/AP/dapd)
Raja Maroko, Muhammad VI ketika memberikan suara dalam referendum.Foto: AP

"Reformasi, itulah saya!" demikian jawaban Muhammad VI untuk pertanyaan tentang masa yang lalu. Sejak naik tahta tahun 1999 ia selalu berbicara tentang negara hukum, desentralisasi, kebebasan pribadi, keikutsertaan dalam politik dan konsep baru autoritas. Ia mendukung dan melakukan sejumlah tuntutan masyarakat. Ini juga mencakup upaya mengejar ketinggalan menyangkut pelanggaran hak asasi manusia di masa pemerintahan ayahnya, perubahan undang-undang keluarga dari tahun 2003 dan transparensi pemilu.

Ini menyebabkan raja punya banyak pendukung, terutama di kalangan pemuda. Tetapi Muhammad VI juga menjaga agar reformasi tidak mengancam kuasanya. Sebaliknya, politik reformasinya menggeser parlemen dan partai-partai, karena ia kerap mengambil langkah di luar institusi-institusi yang berdasarkan undang-undang dasar itu. Sekarang akibat tekanan masyarakat umum raja harus menjawab pertanyaan tentang posisinya dalam konstelasi kekuasaan Maroko.

Negara itu juga dapat menunjukkan keberhasilan dalam pemberantasan buta huruf dan perbaikan aliran listrik. Pengentasan kemiskinan termasuk prioritas politik. Tetapi ini tidak berarti bahwa perbedaan sosial antara miskin dan kaya, serta antara kota dan desa juga sama besarnya seperti di Mesir atau Tunisia.

Aparat keamanan yang sangat besar juga menunjukkan persamaan dengan negara-negara Arab lainnya. Demonstrasi di Casablanca yang diadakan oposisi, yang menuntut reformasi lebih besar lagi, mencerminkan debat di masyarakat Maroko yang sudah sangat lama.

Kekuasaan Raja

Pro-government demonstrators hold poster of Morocco's king as they celebrate constitutional reforms recently unveiled by the king in Rabat, Morocco, Sunday June 19, 2011. At left placard reads "Yes to the constitution". (AP Photo/Abdeljalil Bounhar)
Demonstrasi untuk raja dan reformasi, di RabatFoto: AP

Menurut konstitusi, Maroko sudah sejak tahun 1962 menjadi monarki konstitusional yang demokratis dan sosial. Tetapi walaupun konstitusi negara liberal, raja tidak harus mempertanggungjawabkan diri kepada siapapun. Ia memiliki kuasa untuk memutuskan.

Karena ia bertanggungjawab kepada prinsip Islam dan bukan kepada institusi negara, ia berada di atas konstitusi. Tahun 2011, posisi perdana menteri diperkuat, tetapi kontrol tidak ada. Hak-hak raja tidak dapat diganggu-gugat. Kewajiban bertanggungjawab dan saling mengontrol antar organ-organ negara juga belum diadakan.

Setelah perubahan konstitusi yang akan diadakan tahun ini, monarki tidak suci lagi, tetapi tetap tidak dapat diganggu-gugat. Untuk banyak orang ini tampak hanya seperti permainan kata-kata. Tetapi langkah ini sama seperti jika raja mempertanyakan statusnya sebagai pemimpin agama. Bagi banyak orang, raja sempurna. Gambaran ini sekarang dihapuskan melalui dekrit.

Sonja Hegasy / Marjory Linardy

Editor: Andriani Nangoy