1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Renungan seusai KTT Asia Afrika serta hubungan China-Jepang

25 April 2005

Seusai KTT Ásia Afrika di Jakarta dan perayaan emas Konferensi Asia Afrika di Bandung, dan setelah seluruh delegasi pulang ke masing-masing negaranya, yang kini akan dinilai adalah sejauh mana mewujudkan Deklarasi Kemitraan Baru Asia Afrika.

https://p.dw.com/p/CPOV
Gambar pertemuan Koizumi-Hu Jintao dalam suratkabar China
Gambar pertemuan Koizumi-Hu Jintao dalam suratkabar ChinaFoto: AP

Tantangan di zaman sekarang bukan lagi memperjuangkan kemerdekaan, tetapi bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat, membangun perdamaian, serta mempererat hubungan antarbangsa. Pertemuan tingkat tinggi para pemimpin dua benua Asia dan Afrika, bukan hanya sekedar pertemuan nostalgia, demikian dikatakan.

Suratkabar Jerman Süddeutsche Zeitung menurunkan artikel dengan kutipan kritik Soedjati Djiwandono, pakar hubungan Asia di harian Jakarta Post :

Apakah strategi kemitraan baru Asia Afrika akan sukses? Memang sebagian besar penduduk dunia terwakili dalam KTT Asia Afrika. Namun banyak analisis juga skeptis. Soedjati Djiwandono berpendapat, mitos Bandung sudah mati. Asia Tenggara tidak mampu memajukan ASEAN karena perbedaan masing-masing kepentingan nasional terlalu besar. Apalagi menggalang solidaritas benua Afrika? Di Jakarta bertemu para kepala negara dan pemerintahan dengan pandangan sistim dan nilai yang berbeda. Para diktator berjabatan tangan dengan para kepala pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Bagaimana dari kalangan itu dapat berkembang sebuah agenda politik yang ampuh. Tidak ada persamaan pandangan dan nilai-nilai. Karena itu Djiwandono menyebut perhelatan di Jakarta sebagai pertemuan nostalgia yang sombong atau sebagai kecongkakan nostalgis. Menlu Hassan Wirajuda tentu tidak menerima kritik tajam seperti itu. Wirajuda menegaskan, orang tidak boleh terlalu ambisius , namun penting untuk membangun jembatan baru ke Afrika. Juga biaya untuk penyelenggaraan pertemuan itu dikritik. Dilaporkan, persiapan KTT Asia Afrika menelan biaya jutaan dollar, antara lain untuk pembelian 60 mobil mewah. Mengingat masalah kemiskinan di Indonesia, Djiwandono, mengkritiknya sebagai pemborosan total.

Beberapa minggu menjelang KTT Asia Afrika timbul ketegangan antara China dan Jepang, dua negara besar di Asia, mengenai soal penulisan sejarah masa lalu.

Oleh sebab itu pertemuan antara Presiden China Hu Jintao dan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi di Jakarta menarik perhatian dunia. Berikut kami kutip beberapa suara pers internasional.

Harian Jerman Rheinland Pfalz berkomentar:

Pimpinan China saat ini mendapat simpati masyarakat bagi politik garis kerasnya terhadap Tokyo. Aksi protes di China mencerminkan keyakinan diri baru dan tumbuhnya nasionalisme yang juga hendak memberikan dimensi politik di negara raksasa ekonomi tsb. Namun juga bisa menjadi kekuatan sendiri.

Harian Inggris The Guardian menulis:

Yang dipertaruhkan bukan hanya hubungan dagang dan investasi yang menyeluruh antara kedua negara, tetapi juga stabilitas di salah satu kawasan yang paling rawan di dunia. Sebagai penjamin utama perdamaian di Asia, AS memegang peranan penting. Namun tugas utama terletak di tangan China dan Jepang.

Harian Austria Salzburger Nachrichten berkesimpulan:

Krisis di Asia baru-baru ini menunjukkan, bahwa di benua itu perlu adanya mekanisme yang ampuh bagi keamanan dan stabilitas .Guna menjaga keseimbangan kekuatan di Asia Timur, kehadiran AS perlu. Hanya AS dapat menghentikan ancaman nuklir Korea Utara yang memaksakan Korea Selatan dan Jepang ikut dalam lomba persenjataan tsb. Hanya AS dapat meredam kekuasaan baru China.

Akhirnya komentar tentang penulisan sejarah masa lalu yang menimbulkan sengketa antara China dan Jepang.

Harian Swiss Tages-Anzeiger menulis:

Buku pelajaran sejarah Jepang memberikan gambaran yang timpang mengenai sejarah masa silam. Dalam buku itu tindakan agresif pasukan kekaisaran Jepang terhadap negara-negara Asia pada paruhan kedua abad 20, dirahasiakan atau dikecilkan. Tetapi di lain pihak, sejauh mana kredibilitas para penguasa China sebagai guru sejarah? Dari mana sebuah rejim menuntut otoritas moral ? Rejim yang melakukan invasi ke Tibet pada 1949 , dan menyebutnya sebagai aksi pembebasan damai. Sebuah rejim yang menggilas dengan panser gerakan demokrasi para mahasiswa di Lapangan Tiananmen 1989, dan mengecilkannya sebagai insiden. Invasi China ke Vietnam yang menewaskan puluhan ribu orang pada 1979, sama sekali tidak tercatat dalam buku sejarah.