1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
IptekItalia

Resep Beton Romawi Kuno Bantu Turunkan Emisi Global

Fred Schwaller
10 Januari 2023

Beton yang dapat menyembuhkan diri sendiri ini adalah fondasi dari warisan arsitektur Roma kuno. Sebuah studi baru menunjukkan bagaimana bahan ajaib itu terbukti lebih berkelanjutan

https://p.dw.com/p/4Ltxw
Pantheon di Roma
Pantheon, terbuat dari beton, tetap menjadi salah satu keajaiban arsitektur RomaFoto: Sergey Borisov/PantherMedia/IMAGO

Dalam "Aeneid" karya Virgil, sebuah puisi mitos Latin, di mana dewa Jupiter telah meramalkan bahwa Aeneas, seorang pahlawan yang melarikan diri dari masa kehancuran Troya, akan menerima hadiah sebuah kerajaan yang tidak akan pernah berakhir. Kerajaan itu adalah Roma.

Gagasan untuk menciptakan warisan kerajaan yang abadi tersebut sangat penting bagi Roma, terlebih lagi dengan proyek-proyek bangunannya yang agung.

"Ide untuk membangun warisan kenangan itu sangatlah penting bagi bangsa Romawi kuno, itu merupakan inti dari kekuatannya. Bangunan seperti gerbang dan istana mungkin merupakan kenangan terpenting yang terlihat jelas, dibangun oleh para kaisar dan jenderal. Mereka mengukuhkan warisan mereka dalam sejarah," kata Hannah Platts, seorang sejarawan di Universitas Royal Holloway London, kepada tim DW.

Beton Romawi adalah jantung dari warisan tersebut, baik secara harfiah maupun simbolis merupakan fondasi dari kekuatan Roma. Meskipun bangunan Romawi identik dengan pola mosaik dan marmernya, namun justru pada beton yang sederhana itulah terletak kejeniusan bangsa Romawi.

Koloseum di Roma, Italia
Kubah di Koloseum Roma dibangun dari beton Romawi kuno yang dituangFoto: Paolo Gallo/Zoonar/picture alliance

Beton, awal mula arsitektur Romawi

Beton Romawi merupakan material tahan banting. Di saat beton modern dapat retak dan hancur hanya dalam beberapa dekade saja, beton Romawi kuno justru telah menopang istana, jembatan, dan kuil-kuil Romawi selama ribuan tahun. Material tersebut adalah kuncinya, mengapa bangunan seperti Koloseum masih kokoh berdiri hingga saat ini.

Bangsa Romawi telah melakukan banyak eksperimen dengan beton selama berabad-abad,. Tapi baru pada abad pertama Sebelum Masehi (SM) ketika keunggulan teknik mencuat. 

"Itu adalah masa-masa inovasi adukan mortar dan beton," kata Riley Snyder, seorang insinyur sipil di Universitas Edinburgh, Inggris. "Mereka tahu bahwa menambahkan pecahan keramik akan menciptakan ketahanan terhadap aktivitas seismik, atau menambahkan abu vulkanik untuk membuat semen yang lebih tahan lama."

Teknologi itu merevolusi gaya arsitektur bangsa tersebut. Dengan beton yang lebih kuat, para arsitek dapat membangun konstruksi yang lebih besar dan lebih rumit lagi.

"Beton Romawi memungkinkan pembuatan kubah dan menara kubah, yang mengubah aspek arsitektur untuk selamanya. Kubah besar di sekitar Koloseum, misalnya, dibuat dengan beton yang tuang," jelas Snyder.

Penggunaan beton yang jenius itu misalnya, terlihat paling nyata pada kubah Pantheon, sebuah kuil di Roma yang dibangun antara tahun 113-126 Masehi.

"Para arsitek zaman itu tahu, untuk membangun kubah sebesar itu, mereka perlu menggunakan bahan campuran yang lebih berat di bagian bawah kubah dan agregat yang lebih ringan di bagian atasnya, sehingga kubah menjadi lebih ringan saat dinaikkan," kata Platts. "Semua itu membantu Roma memperlihatkan kejayaan mereka."

Kubah Roma Pantheon di Piazza della Rotonda
Kubah Pantheon di Roma ini ditopang oleh kekuatan beton Romawi kunoFoto: APress/IMAGO

Beton Romawi yang dapat menyembuhkan diri sendiri

Mengapa beton Romawi lebih tahan lama dibandingkan beton modern? Admir Masic, seorang insinyur sipil di Institut Teknologi Massachusetts di Amerika Serikat, mengatakan kepada tim DW bahwa itu bermuara pada penggunaan abu vulkanik yang bersumber dari Gunung Vesuvius atau Etna.

"Bangsa Romawi menambahkan abu vulkanik ke dalam campuran semen," kata Masic. "Ini menciptakan bahan luar biasa yang dapat memperbaiki retakan pada beton dengan instan. Anda bahkan dapat mencoba memecahkan beton menjadi dua, kemudian beton itu akan kembali menyatu setelah dua minggu, jika dibubuhi air."

Sifat "penyembuhan diri” itu sangatlah efektif di dalam air laut. Hal itu dapat membantu bangsa Romawi membangun pelabuhan laut yang kokoh dan fasilitas pelabuhan bawah laut di sekitar Laut Tengah, seperti yang ada di Caesarea, wilayah Israel saat ini.

Resep semen ajaib yang hilang itu ditemukan kembali?

Jadi mengapa kita tidak menggunakan beton Romawi saat ini? Sayangnya, resep untuk beton yang dapat menyembuhkan diri sendiri itu telah hilang selama berabad-abad, dan tidak jelas kapan tepatnya bahan ajaib itu mulai berkurang penggunaannya sebagai bahan bangunan.

Para ilmuwan seperti Masic, telah mempelajari contoh dari beton dan semen peninggalan bangsa Romawi kuno tersebut, untuk memahami mengapa bahan ajaib itu begitu kuat dan tahan lama.

Dalam studi terbaru Masic, yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances pada Jumat (06/01) menunjukkan bahwa cara bagaimana beton itu dicampur, dapat menjadi petunjuk asal kekuatan material itu.

"Penelitian kami menunjukkan bahwa bangsa Romawi menggunakan proses yang disebut 'pencampuran panas' kapur tohor, abu vulkanik dan air," ujar Masic.

Proses pencampuran panas itulah yang menciptakan apa yang disebut "lime clasts” atau gumpalan batu kapur, yang merupakan komponen kandungan mineral yang terdapat pada beton Romawi kuno tersebut.

"Awalnya orang mengira bahwa ‘klastika' itu disebabkan oleh pencampuran yang buruk, tetapi saya meragukan hal itu karena bangsa Romawi sangatlah teliti tentang bagaimana cara membuat beton," tambahnya.

Faktanya, studi Masic berhasil menunjukkan bahwa pencampuran panas dan gumpalan kapur itu sangat penting untuk sifat penyembuhan diri dari bahan tersebut, yang menghasilkan reaksi kimia dengan air untuk memperbaiki retakan.

Pabrik Bata Dhaka Bangladesh
Industri semen dan beton modern saat ini menghasilkan 8% karbondioksida globalFoto: Mustasinur R. Alvi/Zuma/IMAGO

Beton yang lebih ramah lingkungan?

Masic berharap penelitiannya akan membantu industri konstruksi dalam menciptakan beton yang mampu memperbaiki diri sendiri, dan menghasilkan bahan material yang lebih kuat dan lebih berkelanjutan.

"Beton ‘self-healing' ini sangat tahan lama, yang berarti lebih sedikit beton yang perlu dibuat atau diperbaiki. Dengan demikian, jika permintaan turun, untuk memproduksi lebih banyak beton, penggunaan energinya juga berkurang," jelas Masic.

Produksi beton modern bertanggung jawab atas 8% emisi karbondioksida dunia saat ini. Mulai dari jalan raya, rumah, hingga gedung pencakar langit yang semuanya membutuhkan beton dalam konstruksinya. Masic berpendapat, potensi dari penelitiannya ini  sangat besar.

"Di sini kita berurusan dengan bahan yang paling banyak digunakan di dunia, dan bahan dengan jejak karbondioksida yang sangat tinggi. Mengurangi emisi dalam industri manufaktur beton bisa berdampak sangat besar," ujarnya. (kp/as)