1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rizieq Shihab Yang Tersohor

28 Maret 2017

Bagaimana teater kekerasan sipil menjadikan mereka yang tadinya bukan siapa-siapa jadi ternama? Rizieq Shihab adalah sosok paling terkenal saat ini? Simak opini Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/2ZuEp
Habib Rizieq Shihab
Foto: picture-alliance/dpa

Anda mungkin tak menyukai Rizieq Shihab. Tetapi, Anda tak bisa menampik reputasinya sebagai sosok terbaik di bidangnya. Ia adalah penggerak massa yang tak punya banyak saingan saat ini. Sosok yang ulung dalam mengaduk-aduk emosi kerumunan. Nama yang dielu-elukan di mulut khalayak hari-hari belakangan.

Anda ragu dengan kesohorannya ini? Tanyakan saja, mengapa seorang Kemenkopolhukam merundingkan persoalan keamanan nasional dengannya? Mengapa sebagai pimpinan ormas yang mengulang dan mengulang pelanggaran hukum, mengintimidasi banyak orang, menjajakan ujaran kebencian, ia duduk sama tinggi dengan para pejabat negara yang terhormat di berbagai perhelatan?

Dan Anda pun mungkin ada yang tak menyukai FPI. Akan tetapi, pun sulit disanggah bahwa tidak banyak organisasi yang bisa mengerahkan massa lebih efektif dari FPI hari ini. Lebih-lebih, massa yang berani melakukan tindakan tak terbayangkan kala diperlukan, dan lagi percaya penuh apa yang dilakukannya akan menuai kebaikan.

Penulis: Geger Riyanto
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Pernahkah dua puluh tahun silam, Anda membayangkan akan tibanya hari-hari seperti ini? Ormas dan Islam menjadi dua kata yang sulit dipisahkan. Pendakwah merogoh kedudukan tak tergantikan dalam drama politik nasional.

Mungkin sulit membayangkannya sebelumnya. Bukannya lantaran kita tak bisa membayangkan agama bersimbiosis dengan politik pengerahan massa, tentu, namun lantaran sampai dengan dua dekade silam, wajah dari politik massa masihlah patriotisme. Saat kerumunan massa misterius menimbulkan kericuhan, dakwaan pertama kita kelompok ini tak lain dari Pemuda Pancasila. Kala sekelompok pemuda tiba-tiba merecoki unjuk rasa mahasiswa, kita kontan membatin, "PP.”

Bahkan, sejak fajar sejarah Indonesia baru merekah, identitas ormas—eufemisme dari milisi sipil—adalah kebangsaan. Mereka yang sedia menjaga bangsa dari segala ancaman selagi, pada saat yang sama, memperoleh "penghidupan” darinya. Retorika-retorika yang menjadi jubahnya adalah menghalau kembalinya penjajah, membasmi komunisme, serta melindungi keberlangsungan peri kehidupan bangsa.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, saya hanya menjumpai Pemuda Pancasila di spanduk-spanduk yang dicetak seadanya. Saya baru mendengar GMBI, sebuah ormas yang berplatform nasionalis katanya, setelah mereka bentrok dengan FPI yang tengah menyedot perhatian publik saat itu.  Saya yakin, ormas-ormas nasionalis masih mempunyai berbagai kesibukan yang "produktif.” Mereka masih rutin berjumpa dengan para elite politik. "Mengamankan” situasi agar kondusif bagi bisnis di sana-sini. Merencanakan aktivitas-aktivitas yang punya dampak penting bagi perhelatan politik di suatu tempat.

Kendati demikian, ormas yang mengisap perhatian khalayak luas dalam setiap aksinya kini adalah ormas agama. Sosok penggerak massa paling diperhatikan di belantara politik Tanah Air adalah seorang pendakwah—Rizieq Shihab.

Apa alasan pasang surutnya identitas nasionalisme ini?

Melesatnya agama menjadi identitas bagi organisasi massa, memang, tak lepas dari kebutuhan rezim. FPI, sebagaimana banyak organisasi lokal selepas Reformasi, muncul dari inisiatif negara untuk menambahkan pengamanan melalui milisi-milisi sipil. Ia dilahirkan dari rahim Pam Swakarsa yang tujuannya adalah melindungi Sidang Istimewa MPR tahun 1998.

Namun alasan keberpengaruhan ormas agama hari-hari ini, saya kira, tak dapat dirujuk ke kemunculannya. Seperti yang dungkapkan Loren Ryter yang meneliti Pemuda Pancasila, ormas, bahkan yang sudah mengantungi nama besar sekalipun, perlu unjuk kekuatan sewaktu-waktu. Hanya dengan cara tersebut, ia bisa memperlihatkan—dan mengingatkan—orang-orang bahwa mereka membutuhkannya. Sebagaimana pelukis yang butuh berkarya untuk terus kondang di dunianya, mereka harus konsisten berkarya agar tetap dianggap. Dan karya mereka adalah kericuhan. Kanvas mereka adalah masyarakat.

Betapapun Anda tak menyenangi sebuah ormas karena kekerasan, intimidasi, huru-hara, setiap kali ia berhasil menyulut hal-hal tersebut, orang yang menyadari keberadaannya semakin banyak. Politisi yang mendengarnya bertambah. Di suatu tempat, pengambil keputusan penting mendengarnya. Orang-orang yang menyeganinya bertambah, dan di antaranya tak sedikit yang terinspirasi. Reputasinya, singkat kata, kian berkilau.

Dan mengapa agama?

Mengapa bukan ideologi lain yang menjadi tudung ormas-ormas kondang hari ini? Agama, pasalnya, menyediakan kesempatan unjuk kekuatan lebih dari semua ideologi lain hari-hari ini. Di masa lalu, patriotismelah yang menggelar panggung untuk unjuk kesaktian ini. Pemuda Pancasila sendiri, toh, lahir dari sesumbar Spego Goni, sang pendiri, akan mendukung inisiatif Sukarno merebut Irian Barat dengan mengirimkan lima ribu pemuda—yang pada kenyataannya dilakukan dengan memalsu catatan anggotanya.

Belakangan, nama PP kian bergaung karena menjadi pentungan negara untuk mengeksterminasi komunisme. Ormas-ormas yang mengaku panggilannya adalah melindungi bangsa dari ancaman komunisme, pada banyak kasus, tak sekadar menjajakan kata-kata. Mereka terlibat dalam penumpasannya dan aksi penumpasan ini, sebaliknya, mengasah kesaktian mereka di mata orang-orang.

Namun, pada hari ini, negara tak dapat lagi mengomandoi represi masyarakat sipil dengan dalih stabilitas bila tidak sudi menyandang dakwaan otoriter, kejam, pelanggar HAM. Padahal, ormas-ormas kebangsaan mematri namanya di kancah nasional dengan menjadi perpanjangan negara dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan kotornya. Ormas-ormas kehilangan ruang berkiprah leluasa yang dimilikinya di masa silam.

Tetapi, bak sebuah ungkapan, ada yang patah, ada pula yang bertumbuh. Pada situasi yang demikian, agama menyediakan satu dalih baru untuk unjuk kekuatan. Dalil-dalilnya, dengan pilinan di beberapa tempat, dapat menjadi sesuatu yang menegaskan bahwa kemungkaran kini ada di mana-mana. Sesama umat tengah dipinggirkan, dikecam, dihabisi di tanah orang. Dosa dilakukan dengan leluasa di depan mata. Umat tak boleh hanya diam. Bila pihak berwajib tak menegakkan keadilan untuk mereka, mereka harus menindak musuh dengan tangannya sendiri.

Akhirnya, laskar-laskar bermunculan

Perjuangan menegakkan agama diamalkan tanpa pamrih di mana-mana. Semaraklah sweeping minuman keras serta prostitusi, penggerebekan media maupun institusi yang menistakan agama, kekerasan terhadap kelompok lain yang dianggap mengancam, maupun pengiriman umat dalam konflik-konflik mempertaruhkan nyawa membela sesamanya.

Dan pada gilirannya, kekerasan yang dilakoni dari panggilan hati ini mengerek reputasi para anggota, gerakan, ormas berbasis agama. Ia menjadikan ormas ini disegani dalam kancah perpolitikan. Di berbagai daerah, menjadi pengurus laskar, atau ormas-ormas agama kontan memberikan seseorang kredensial di antara elite-elite lokal lainnya. Para veteran jihad membela umat Islam ke tempat-tempat jauh menjadi seseorang yang disegani lepas kepulangannya.

Dan di tingkat nasional, saya mungkin tak perlu berbicara panjang-lebar lagi untuk mencontohkan bagaimana teater kekerasan milisi sipil menjadikan mereka yang bukan siapa-siapa menjadi seseorang yang bernama. Bukankah Rizieq Shihab adalah sosok paling terkenal saat ini?

Apakah Anda masih bertanya-tanya mengapa milisi kebangsaan redup dan milisi agama berkilau? Saya harap, tidak. Hemat kata, agama menggantikan bangsa menjadi dalih sah untuk kekerasan. Dalih yang dibutuhkan agar ekonomi kekerasan bergulir mulus.

Penulis:

Geger Riyanto

Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.