1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rohingya: Terperangkap di Ghetto

19 Oktober 2012

Kawat berduri dan pasukan bersenjata menjaga Rohingya tiga bulan setelah kekerasan mencabik kota bagian barat Myanmar. Sebuah penjara virtual bagi para keluarga yang dari generasi ke generasi menghuni jalan sempit itu.

https://p.dw.com/p/16TNY
Foto: AP

Kawat berduri dan pasukan bersenjata menjaga kelompok muslim, tiga bulan setelah kekerasan mencabik kota bagian barat Myanmar, sebuah penjara virtual bagi para keluarga yang dari generasi ke generasi menghuni jalan sempit itu.

Pasukan keamanan di luar ghetto negara bagian Rakhine, Sittwe, bukan menjaga agar mereka yang tinggal di sana tidak bisa keluar--meski hanya sedikit yang berani melakukannya—tapi untuk melindungi mereka dari massa Buddhis, setelah kebencian sektarian meledak di tempat itu beberapa waktu lalu.

Di dekat pusat kota, kehidupan telah kembali ke arah normalitas sejak pemerintah Myanmar memberlakukan keadaan darurat pada Juni lalu. Ini merupakan reaksi atas bentrokan muslim dengan kelompok pemeluk Buddha yang membuat puluhan orang tewas dan puluhan ribu lainnya terpaksa tinggal di berbagai tempat pengungsian sementara.

Hidup dalam Ketakutan

Di daerah kantung ketegangan di Aung Mingalar, ratusan keluarga dari kelompok minoritas muslim mengaku mereka kini hidup dalam ketakutan.

“Rakhine (massa Buddhis-red) akan menyerang kami hari ini,” kata seorang laki-laki tua saat shalat Jumat pekan lalu.

Pada malam yang sama, kelompok Buddhis Rakhine -- yang sebaliknya menuduh kaum Rohingya menyerang kampung mereka.  Rohingya berkumpul di luar tembok pembatas, memaksa tentara melepaskan tembakan peringatan dan mengakibatkan kepanikan di dalam.

Berselang tiga hari sebelumnya, ratusan anggota etnis Rakhine -- yang seringikali dipimpin oleh biksu Buddha – berpawai di jalan menuntut “pemindahan” Aung Mingalar.

Suara teriakan mereka jelas terdengar oleh orang-orang yang ada di dalam ghetto, yang hanya bisa membayangkan apa yang sedang terjadi di luar.

“Dalam pandangan saya, hidup di gurun Sahara Afrika akan lebih baik daripada hidup dalam situasi seperti ini,” kata Mohamed Said, 28 tahun. Air mata menggenang di pelupuk matanya.

“Kami tak bisa menderita lagi. Kami kehilangan segalanya, kecuali nyawa. Kami ini manusia biasa,“ kata dia.

Kota Mati

Antara 3.000 dan 8.000 orang diperkirakan tinggal di wilayah sekitar 500 meter persegi, di mana tak ada kendaraan yang lalu lalang dan semua toko ditutup.

Suplai makanan, terutama beras disediakan oleh pemerintah. Dan juga beberapa penduduk Buddhis lokal yang mau berbaik hati, yang terpaksa mengirimkan bantuan diam-diam karena takut menimbulkan kemarahan penduduk setempat. Tapi itu tidak cukup untuk makan.

Beberapa Rohingya berani melewati pembatas yang terbuat dari bambu dan kawat berduri, dengan menyembunyikan wajah di balik kerudung agar tidak bisa dikenali.

Tapi kebanyakan tidak berani melewati itu selama empat bulan terakhir.

“Pagar bambu ini seperti sebuah pembatas psikologis, melambangkan ketakutan yang memisahkan dua dunia,“ kata Chris Lewa, kepala proyek Arakan, yang berkampanye untuk hak-hak kelompok minoritas Rohingnya.

Seruan bertambah untuk memindahkan tempat pengungsian kelompok muslim.

“Jika Aung Mingalar tetap dipertahankan di tengah kota, maka masalahnya akan semakin memburuk,” kata Nya Na, seorang pemimpin perkumpulan Biksu setempat.

“Saya tidak ingin kedua komunitas (muslim-Buddhis-red) berperang. Berisiko bagi mereka untuk tetap tinggal di sana.”

Komunitas Rohingya sejak lama disebut oleh PBB sebagai salah satu kelompok minoritas paling teraniaya di dunia.

Tercerai-berai

Kaum Rohingya dipandang sebagai imigran ilegal dari negara tetangga Bangladesh oleh pemerintah Myanmar dan sebagian besar orang Burma.  Mereka dijuluki “Orang Bengali” -- dan menghadapi pembatasan gerak yang ketat dan pembatas akses atas pekerjaan, pendidikan serta pelayanan publik.

Lebih dari 50 ribu muslim dan lebih dari 10 ribu penganut Buddha mengungsi dari negara bagian Rakhine, setelah dipaksa melarikan diri ketika massa membakar desa mereka.

Sekitar 800 ribu Rohingya yang tinggal di barat Myanmar kini tercerai berai dan menyebar sejak kerusuhan pecah. Banyak diantara mereka yang takut tidak bisa kembali ke kampong halamannya.

Ribuan muslim Rohingya diabaikan dan hidup dalam kekurangan di kamp-kamp kumuh di sudut Sittwe, terpisah dari kelompok Buddhis.

Laki-laki berjanggut atau perempuan dengan jilbab yang enam bulan lalu adalah pemandangan biasa, kini menghilang dari pemandangan di tengah kota.

Mengingatkan era Apartheid

"Segregasi atau pemisahan antara Muslim-Buddhis itu mengingatkan kita kembali ketika Afrika Selatan di bawah rezim Apartheid pada tahun 1980-an, tapi ini lebih buruk” karena Rohingya tidak bisa meninggalkan kamp mereka", kata Lewa.

“Kebebasan bergerak selalu menjadi masalah bagi Rohingya, tapi pelarangan itu kini semakin ekstrim,” kata Sarnata Reynolds, dari organisasi bantuan pengungsi Refugees International.

“Secara tidak resmi tampaknya ada kesepakatan luas bahwa kamp-kamp itu akan tetap ada di sana selama tiga tahun atau lebih, dan itu mungkin akan menjadi awal dari pemisahan permanen.”

PBB yang aktif di wilayah itu sejak puluhan tahun lalu masih memiliki harapan.

“Kami mendapat informasi dari pemerintah Myanmar, bahwa kamp pengungsi itu berguna untuk mengontrol kerusuhan, pemisahan itu hanya untuk sementara waktu, bukan segregasi,“ kata Kepala PBB di Myanmar Ashok Nigam.

Tapi bahkan jika kamp-kamp itu ditutup dan pagar pembatas dengan kawat berduri yang mengelilingi Aung Mingalar diturunkan, masih ada ketakutan bahwa ketidakpercayaan masih akan bertahan lama diantara komunitas masyarakat yang dulu pernah hidup berdampingan itu.

“Selama orang-orang Bengali itu di sini, maka akan tetap ada ketakutan, ketidakharmonisan dan kemarahan. Saya berharap mereka akan menjauh dari sini,” kata San Win Phu, laki-laki 60 tahun yang kini mengungsi di sebuah biara lokal.

AB/ AS (afp,dpa)