1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sebelum Tinggalkan Jabatan Presiden, Medvedev Janji Lakukan Reformasi

24 April 2012

Bulan Mei, Medvedev akan melepaskan jabatan presiden kepada Putin. Sebelumnya, ia menyatakan akan mendorong liberalisasi lebih di bidang politik dan ekonomi.

https://p.dw.com/p/14kLJ
Foto: picture-alliance/dpa

Presiden Rusia Dmitry Medvedev menyimpulkan empat tahun masa jabatannya, Selasa (24/04), pada saat ia tengah mempersiapkan mengambilalih jabatan perdana menteri, dengan berjanji untuk mendorong kebebasan yang lebih di bidang politk dan ekonomi.

Pidato Medvedev dihadapan Dewan Negara, yang ditayangkan melalui televisi di seluruh negeri, ini dilakukan dua minggu sebelum Vladimir Putin, yang kini menjabat perdana menteri, kembali ke kursi kepresidenan. Pertukaran jabatan ini dianggap sebagai formalitas saja, sejak Putin menjadi sosok yang dominan dalam politik Rusia selama lebih dari satu dekade.

“Kemajuan kebebasan sipil dan ekonomi merupakan tujuan utama saya,” dikatakan Medvedev di Kremlin. “Setiap orang memerlukan kebebasan – ini adalah aksioma.” Medvedev juga menjanjikan untuk menyerahkan daftar perusahaan negara yand dapat diprivatisasi, tidak menaikkan pajak pada bisnis dan untuk memenuhi “semua yang telah dijanjikan” saat ia menjadi presiden. “Intervensi negara dalam perekonomian harus minimal dan transparan,” tambahnya.

Diragukan Akan terjadi Perubahan

Medvedev dianggap lebih reformis dibandingkan Putin. Namun ia juga dianggap telah gagal dalam empat tahun masa jabatannya untuk membasmi korupsi di sektor swasta dan publik dan juga gagal dalam menciptakan iklim bagi pluralisme politik.

Pemilihan presiden pada bulan Maret lalu dan pemilihan parlemen Desember 2011 memicu berbagai protes keras dari kelompok oposisi. Kedua pemilu tersebut dinilai penuh dengan kecurangan dan intimidasi.

Parlemen Rusia akan melakukan pemungutan suara, Kamis (26/04), untuk memutuskan apakah gubernur wilayah akan dipilih melalui pemilihan langsung - satu janji Mendvedev kepada pihak oposisi. Namun Kremlin masih memiliki hak veto untuk menolak kandidat yang tidak diinginkan. Kenyataan ini menyebabkan keraguan apakah hukum akan benar-benar mengendorkan cengkraman kekuasan Moskow.

Yuniman Farid (ap/afp)