1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sejarah Perluasan NATO ke Eropa Timur

Bernd Riegert29 Maret 2014

Sejak tahun 1999, NATO hampir setiap lima tahun melakukan perluasan ke Eropa timur. Anggota barunya adalah bekas anggota Pakta Warsawa, atau bekas kawasan Uni Soviet.

https://p.dw.com/p/1BXsd
Foto: John Thys/AFP/Getty Images

Bulan Maret 1999, tiga negara Eropa timur bergabung dengan pakta pertahanan NATO, yaitu Polandia, Ceko dan Hongaria. Ketiga negara ini dulunya adalah anggota Pakta Warsawa yang dikendalikan oleh Uni Soviet. Tapi perluasan NATO tidak berhenti pada tiga negara itu.

Tahun 2004, tiga negara Baltik Estonia, Latvia dan Lithuania juga masuk NATO. Sebelumnya, ketiga negara itu termasuk kawasan Uni Soviet. Ketika Uni Soviet bubar, ketiga negara kecil itu langsung menyatakan kemerdekaannya.

Masih ada empat negara Eropa timur lain yang bergabung dengan NATO tahun 2004, yaitu Bulgaria, Rumania, Slovenia dan Slowakia. Lalu tahun 2009, Albania dan Kroasia juga memutuskan masuk NATO.

Artinya, hanya dalam kurun waktu 15 tahun, ada 12 negara Eropa timur yang dulu berada di bawah pengaruh Uni Soviet dan akhirnya bergabung dengan pakta pertahanan aliansi barat.

Rusia gelisah

Dalam pertemuan puncak NATO tahun 2008 di Rumania, Presiden Rusia Vladimir Putin menyuarakan kegelisahannya dengan perluasan NATO. Dalam konferensi pers Putin mengingatkan: "Munculnya sebuah aliansi militer di perbatasan Rusia bisa dilihat sebagai ancaman langsung."

Ketika itu, NATO sedang membahas kemungkinan masuknya Georgia dan Ukraina. Tapi sebagian besar anggota NATO menolak perluasan lebih jauh, karena sadar akan ada penentangan dari Rusia.

Pendahulu Putin, Boris Yeltsin juga dulu sudah mengingatkan bahwa perluasan NATO ke timur akan menjadi hal yang mengkhawatirkan bagi Rusia. Akhirnya diputuskan pembentukan sebuah forum yang dinamakan Dewan NATO-Rusia, untuk melakukan konsultasi keamanan secara kontinyu.

Penolakan Putin

Pada awalnya masa jabatannya, Vladimir Putin sebenarnya mencoba membangun kerjasama dengan "NATO yang baru". Namun lama kelamaan, Putin makin kecewa terhadap NATO, apalagi setelah aliansi militer itu tahun 2004 menerima keanggotaan tiga negara Baltik. Kalangan politik dan sebagian besar warga Rusia sampai saat ini masih khawatir negaranya "dikepung oleh barat".

"Memang ada kesalahan besar dan pesan politik yang salah, ketika NATO membahas kemungkinan masuknya Ukraina dan Georgia. Itu politik yang buruk", kata Giles Merritt dari lembaga tangki pemikir "Security and Defense Agenda" di Brussel. Ia mengatakan, sikap NATO ketika itu menambah kecurigaan Putin bahwa pihak barat hanya ingin mendominasi dan mendikte Rusia. Inilah yang membuat krisis Ukraina saat ini makin rumit.

Gilles selanjutnya menerangkan, NATO seharusnya bekerjasama dengan Rusia karena masih banyak tantangan global. Misalnya perang melawan terorisme dan ancaman roket dari Iran atau Korea Utara. "NATO dan Rusia punya kepentingan keamanan yang sama", kata Merritt.