1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sejarah Picu Insiden Berdarah di Perbatasan Israel

16 Mei 2011

Pemerintah Israel membela aksi militer dalam menembaki demonstran di perbatasan. Libanon melayangkan keluhan ke PBB. Suriah memperingatkan Israel untuk bertanggung jawab atas insiden yang disebut sebagai aksi kriminal.

https://p.dw.com/p/11Gkr
Warga Palestina melemparkan batu ke arah pasukan keamanan Israel saat unjuk rasa di Hari Nakba, Minggu (15/05)Foto: picture-alliance/dpa

Polisi Israel menyisir dataran tinggi Golan hari Senin (16/05), pasca bentrokan berdarah terbesar dalam beberapa tahun terakhir di perbatasan Israel. Sedikitnya 12 orang dilaporkan tewas dan 300 lainnya terluka hari Minggu (15/05) saat tentara Israel menembaki ribuan pengunjuk rasa di sepanjang perbatasan dengan Suriah dan Libanon. Begitu juga di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Unjuk rasa masal digelar untuk memperingati hari kemerdekaan Israel di tahun 1948. Hari yang disebut sebagai hari Nakba atau hari bencana. Seorang aktivis muda Palestina, Fadi Quran, ikut serta dalam unjuk rasa. "Kami terinspirasi dengan revolusi di Mesir dan Tunisia, serta Martin Luther King dan gerakan hak warga sipil di masa lalu. Kami memutuskan untuk mengikuti metode yang sama untuk mencapai tujuan dan merebut hak-hak kami."

Husam Zomlot, wakil komisaris Komisi Hubungan Internasional Fatah, menjelaskan arti hari Nakba, "Bagi semua yang berunjuk rasa, 63 tahun lalu adalah sebuah bencana. Setengah dari bangsa Palestina dipaksa untuk meninggalkan rumah dan mereka menjadi pengungsi. Kini jutaan warga terlantar di berbagai penjuru wilayah. Mereka telah memberi ruang bagi proses damai selama lebih dari 20 tahun. Melihat semuanya gagal, mereka memilih bertindak sendiri."

Ketua badan PBB untuk pengungsi Palestina atau UNRWA, Filippo Grandi, menilai pertumpahan darah menjadi bukti diperlukannya solusi bagi para pengungsi Palestina yang kini berjumlah 4,8 juta orang. Para pengungsi semakin tidak sabar. Seperti diungkapkan seorang pengunjuk rasa perempuan di Libanon. "Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya ingin menghadapi mereka yang mengusir kakek saya dari tanah kelahirannya. Saya ingin menghadapi mereka yang mengusir ayah saya. Untuk pertama kalinya, saya ingin berkata kepada mereka, kalian adalah pencuri."

Situasi kamp pengungsi Rafah di perbatasan Jalur Gaza dengan Mesir pasca serangan udara Israel, 5 September 2010.
Situasi kamp pengungsi Rafah di perbatasan Jalur Gaza dengan Mesir pasca serangan udara Israel, 5 September 2010.Foto: AP

Mark Regev, juru bicara pemerintah Israel, memiliki pandangan yang berbeda. "Ini menulis ulang sejarah. Orang-orang tidak diberitahu kebenarannya bahwa di tahun 1947, PBB memberi opsi dua negara bagi dua bangsa. Sisi Israel, sisi Yahudi menyetujui dua negara, tapi sisi Palestina menolak. Karena itulah ada perang. Kalau tidak ada kepemimpinan Palestina yang ekstrem saat itu maka tidak akan ada pengungsi."

Pengungsi Palestina di Libanon menggelar hari berduka cita menjelang pemakaman 10 korban tewas di empat kamp pengungsi. Libanon mendesak PBB untuk membuat Israel menghentikan agresi dan provokasi. Sementara Suriah memperingatkan Israel untuk bertanggung jawab atas insiden yang Suriah sebut sebagai aksi kriminal.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan negaranya berhak mempertahankan perbatasan dari siapapun yang tidak mengakui eksistensi Israel. "Mengingat ribuan orang mencoba menerobos perbatasan, menerobos zona keamanan yang selama ini selalu tegang, militer kami cukup menahan diri. Belum jelas bahwa semua korban tewas itu disebabkan oleh tentara Israel. Ada juga tentara Libanon yang melepaskan tembakan peluru tajam," jelas Regev.

Militer Israel menyatakan telah bertindak hati-hati dalam menembaki pengunjuk rasa. Tembakan dimaksudkan sebagai tembakan peringatan. Tiga belas tentara dilaporkan terluka akibat rangkaian insiden. Semalaman, polisi Israel merazia rumah-rumah untuk mencari pengunjuk rasa yang tidak kembali ke Suriah. Polisi juga telah menangkap seorang warga Suriah.

Carissa Paramita/ afp/dpa
Editor: Hendra Pasuhuk