1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

230910 Afrika Strafgerichtsbarkeit

24 September 2010

Banyak para pelaku kejahatan kemanusiaan yang masih bebas dari cengkraman hukum. Apakah dalam era globalisasi ini dapat pula tercipta hukum yang global?

https://p.dw.com/p/PM8H
Kantor Mahkamah Kriminal Internasional di Den Haag, BelandaFoto: ICC

Kasus paling menonjol di Mahkamah Kriminal Internasional ICC, Den Haag, Belanda, memicu perdebatan sengit. Sejak dikeluarkannya perintah penangkapan terhadap Presiden Sudan Omar al-Bashir, Mahkamah Kriminal Internasional tidak sama seperti sebelumnya, kata Kai Ambos, pakar hukum internasional di Universitas Göttingen. “Kasus al-Bashir memecah belah Afrika. Kita memiliki perubahan paradigma yang jelas dengan kasus Bashir. Sangat layak mempertanyakan apakah bisa membebankan perbuatan sekelompok masyarakat sipil kepada kepala negara.“

Omar al-Bashir dituduh membiarkan terjadinya kejahatan perang dan genosida di kawasan Darfur. Uni Afrika mendukung Bashir, sebuah cerminan solidaritas. Maka Bashir memprovokasi dengan kunjungannya belum lama ini ke Kenya, negara anggota ICC, tanpa konsekuensi apapun. ICC mengatakan, sebagai anggota Mahkamah, Kenya berkewajiban untuk bekerjasama melaksanakan perintah penangkapan terahdap al Bashir. Namun Kenya menolak dengan alasan tidak ingin mengancam stabilitas Sudan atau Kenya sendiri.

Situasi yang sangat sulit, kenang Bethuel Kiplagat, diplomat Kenya yang juga aktivis perdamaian. “Saya bukan simpatisan Bashir sehingga menentang penangkapannya. Tetapi politik selalu memainkan peran. Saya tahu, penangkapan Bashir hanya akan memperburuk situasi. Bisa memicu pertumpahan darah dan mungkin lebih banyak orang yang akan mati."

Alasan yang diamini banyak pembela hak asasi. Keadilan yang mengorbankan nyawa manusia?Jangan sampai terjadi. Tapi langkah di papan catur diplomasi ini berakibat fatal, kata Hartwig Fischer, pakar Afrika fraksi CDU/CSU di parlemen Jerman. "Masih adakah kesetaraan di depan hukum? Orang yang terbukti membunuh diajukan ke pengadilan. Apakah untuk presiden tidak berlaku hukum yang sama? Itu sama dengan menjerumuskan rakyat di negara-negara terkait, ke dalam ketidakpastian mutlak. Penguasa lalim tetap bertahta walau ada Mahkamah Kejahatan Internasional."

Perintah penangkapan al-Bashir menghadapkan para hakim dan pegiat hak asasi pada pertanyaan, apa yang bisa dilakukan oleh Mahkamah Internasional? Seberapa jauh Mahkamah boleh bertindak?

Di negara-negara pasca konflik, keadilan harus ditegakkan lebih jauh daripada hanya menghukum pelaku kejahatan, kata Bethuel Kiplagat. Sebagai Ketua Komisi Kebenaran, Keadilan dan Rekonsiliasi di Kenya, ia melihat apa yang terjadi jika ribuan orang mengalami penderitaan. Pelaku dan korban hidup berdampingan, trauma tanpa bantuan. “Bagaimana dua, tiga atau lima politisi di Den Haag bisa menolong korban di Afrika? Kita harus menemukan cara lain. Agar orang-orang ini disembuhkan secara emosi dan psikis. Dan proses penyembuhan ini hanya dapat terjadi di dalam negara tersebut. Tidak bisa dipaksa. Ada ribuan, jika bukan jutaan, orang yang menderita.”

Pengadilan tradisional seperti tribunal Gacaca di Rwanda atau komisi kebenaran di Kenya, tahan uji kata Bethuel Kiplagat. Karena mereka memberi suara pada semua orang, yang mengira sudah kehilangannya.

Stefanie Duckstein/Renata Permadi

Editor: Yuniman Farid