1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

121010 Sicherheitsrat Geschichte

12 Oktober 2010

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa terus dikritik dalam beberapa hal. Dianggap, Dewan Keamanan memerlukan pembaruan secepatnya. DW menemui David Bosco, penulis buku mengenai Dewan Keamanan.

https://p.dw.com/p/PcZ1
Dewan Keamanan PBB dalam satu sidangFoto: AP

Sejak berakhirnya Perang Dunia pertama, dunia memerlukan jaringan keamanan yang handal. Dua dasawarsa kemudian berkecamuk Perang Dunia ke 2. Tanpa menunggu perang berakhir, pada musim panas tahun 1941, Presiden Amerika Serikat Theodor Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill menandatangani apa yang disebut "Piagam Atlantik", yang merupakan fondasi pembentukan PBB. Dan menjelang berakhirnya Perang Dunia ke 2, dibentuk Dewan Keamanan, yang dengan segera dapat memerintahkan pengerahan misi militer, bila keamanan dunia kembali terancam. Demikian dikatakan oleh David Bosco, ahli hukum dan pakar politik yang menulis buku mengenai Dewan Keamanan.

"Dewan Keamanan dengan sungguh-sungguh menerima tugasnya sebagai komando pusat militer. Pasukan dari semua negara anggota berada di bawah sebuah komando militer," tambah David Bosco.

Tapi kemudian peranan Dewan Keamanan berubah lebih cepat dari yang diperkirakan. Uni Sovyet dan negara-negara Barat bertikai. Hak veto pertama dipergunakan kurang dari sebulan setelah Dewan Keamanan memulai tugasnya. Pada kurun waktu 20 tahun pertama, hak veto terutama dipergunakan Uni Sovyet. David Bosco menambahkan, pada dasawarsa pertama setelah dibentuk, Dewan Keamanan tidak dapat berbuat banyak untuk memperkokoh eksistensinya. Dalam hal ini, pengecualiannya adalah perang Korea, ketika Uni Sovyet memboikot Dewan Keamanan.

Sementara itu juga terdapat kesamaan kepentingan antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Misalnya dalam perang di Timur Tengah pada tahun 60-an dan akhir 70-an. Tapi pada umumnya Dewan Keamanan merupakan sebuah pangung yang menampilkan pertikaian secara terbuka, seperti misalnya ketika terjadi krisis mengenai Kuba. Baru pada tahun 80-an, Michael Gorbatchev mengubah situasi politik di Uni Sovyet, dan memberikan angin segar bagi Dewan Keamanan PBB untuk dapat bekerja lebih efektif. Misalnya dalam konflik antara Iran dan Irak. David Bosco memaparkan, "Kelima negara anggota tetap mengadakan pembicaran di balik pintu tertutup, untuk menemukan jalan dalam memecahkan konflik."

Kegiatan Dewan Keamanan PBB mencapai puncaknya pada tahun 1993/1994. Waktu itu dikeluarkan sejumlah besar resolusi mengenai konflik di Balkan, Somalia dan Ruanda. Sejak itu kegiatannya menurun. Tapi masih tetap banyak kegiatan yang dilakukan Dewan Keamanan ketimbang pada era erang dingin. Demikian dijelaskan David Bosco.

Ketika terjadi Perang Teluk ke 2, yang disusul invasi Amerika Serikat ke Irak, Dewan Keamanan menghadap krisis besar. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat ketika itu, Colin Powel, dalam pidatonya di depan Dewan Keamanan bulan Februari 2003, kembali mendesak untuk mengesahkan perang melawan Irak. Ketika anggota Dewan Keamanan tidak menanggapinya, Amerika Serikat bersama apa yang disebut "koalisi kebulatan tekad" melancarkan invasi militer ke Irak. Ini merupakan sebuah pukulan yang sangat berat terhadap PBB.

Saat ini, Dewan Keamanan terus dikritik. Misalnya dalam proses perdamaian Timur Tengah, misi perdamaian di Bosnia, dan juga dalam konflik atom dengan Iran. David Bosco menandaskan, Dewan Keamanan dapat dipastikan tidak sempurna, dan dengan mendesak memerlukan pembaruan. Susunannya tidak lagi sesuai dengan konstelasi kekuatan pada abad ke 21.

Christina Bergmann/Asril Ridwan

Editor: Agus Setiawan