1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Selamatkan Indonesia...

Ignas Iryanto18 Februari 2015

Presiden Jokowi memang membatalkan calon Kapolri Budi Gunawan, tapi Polri mengancam akan mengusut semua ketua KPK. Yang perlu diselamatkan sekarang bukan KPK atau Polri, melainkan Republik Indonesia, tulis Ignas Iryanto.

https://p.dw.com/p/1EZ4H
Joko Widodo
Foto: Reuters/Romeo Ranoco

Sikap Presiden Jokowi yang lamban apapun alasannya telah memberikan ruang-waktu bagi terbentuknya kompleksitas persoalan yang menimbulkan kebingungan serta sedikit memudarkan harapan rakyat atas kepemimpinannya.

Pernyataan pernyataan yang seolah-olah cerdas dari para elit serta kalangan advokat, yang sangat mahir menampilkan “kebenaran semu”, telah menimbulkan pro kontra di kalangan rakyat. Banyak yang membela KPK dengan moto "Save KPK” dan menuduh Polri telah melakukan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Ada yang membela Polri dan membawa bendera “Save Polri” sembari mengatakan bahwa KPK bukan malaekat dan bahwa proses di Bareskrim telah sesuai standar prosedur yang ada, dan adalah fakta bahwa memang keempat pimpinan KPK telah melakukan perbuatan melawan hukum yang harus diproses oleh kepolisian, dalam hal ini Badan Reserse Kriminal (Bareskrim).

Ignas Iryanto, Experte für Politik und Corporate Social Responsibility
Ignas IryantoFoto: privat

Benarkah kelima kasus yang dituduhkan ke BG serta ke-empat pimpinan KPK memiliki bobot yang sama bagi kepentingan bangsa, rakyat dan negara Republik Indonesia ini?

Asumsi tuduhan terbukti, apa dampaknya?

Coba kita jawab pertanyaan diatas dengan menggunakan "asumsi ekstrim" bahwa: tuduhan atas kelima orang tersebut benar dan terbukti dan mensimulasikan dampak dari tindakan pidana mereka berlima bagi kepentingan rakyat dan negara. Kemudian berdasarkan pertimbangan itulah, langkah harus diambil dengan motto “Save Indonesia” dan bukan hanya “Save KPK” ataupun “Save Polri”.

Berpijak pada asumsi tersebut, jika “ternyata” berdasarkan keterangan para saksi termasuk koruptor terpidana Akil Mochtar, Bambang Widjojanto terbukti merekayasa keterangan saksi, ia akan dijatuhi hukuman. Hal ini tentu tidak dapat menganulir keabsahan Bupati Kota Waringin Barat saat ini, karena jelas kasus ini sudah kedaluarsa dari sudut sengketa hasil Pilkada. Jadi hanya Bambang Widjojanto yang akan dipenjara karena kesalahannya. Akibatnya bagi publik sangat amat minim.

Begitu pula dengan kasus Adnan Pandu Praja, komisioner KPK lainnya. Jika terbukti bersalah melakukan penipuan sehingga mengambil alih saham sebuah perusahan seperti yang dituduhkan, maka ia akan dihukum dan saham tersebut dikembalikan ke pihak yang berhak. Apa akibatnya bagi publik? Praktis tidak ada.

Kasus Abraham Samad pun demikian, katakanlah dia pernah bertemu dengan pimpinan PDIP dan membicarakan persoalan pencalonannya sebagai Cawapres ketika itu, apakah persoalan itu akan merugikan kepentingan rakyat? Menurut penulis sangat lemah korelasinya, apalagi hal ini adalah hal yang sudah menjadi wacana publik saat itu, bahwa Abraham Samad memang adalah salah satu dari tujuh cawapres yang digadang untuk mendampingi Jokowi. Begitu pula kasusnya dengan wanita, itu adalah persoalan moral yang lebih bersifat pribadi. Seandainya benar, tetap merupakan sebuah kesalahan etika, moral maupun hukum namun dampak dari kesalahan yang dibuat itu atas seluruh perjalanan bangsa adalah sangat kecil.

Bagaimana kasus Budi Gunawan?

Jika dia terbukti bersalah berarti, dia telah menerima gratifikasi dari sekian banyak perwira Polri yang ingin mendapatkan promosi jabatan di tubuh Polri. Apakah dampaknya bagi publik, bagi rakyat dan negara Indonesia? Sangat dahsyat. Itu membuktikan bahwa ‘rumor” yang berkembang sekian lama bahwa untuk mendapatkan jabatan di tubuh Polri harus menyiapkan sekian ratus juta adalah suatu kebenaran.

Dampak lanjutan juga sangat dahsyat, jika seperti itu praktik promosi karier di tubuh Polri maka wajar sekali temuan berbagai lembaga survey dalam beberapa tahun terakhir bahwa Polri termasuk dalam deretan lembaga terkorup di negeri ini.

Kondisi seperti itu jelas akan berpengaruh pada kualitas pelayanan, bagi tegaknya keadilan yang berpengaruh langsung pada kesejahteraan bangsa.

Jelas dampaknya jauh lebih signifikan dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh kasus kasus yang relatif sepele yang disangkakan kepada keempat komisioner KPK diatas.

Mungkin saja bukan merupakan kebetulan bahwa ketika kasus ini mencuat di ruang publik, Labora Sitorus juga sedang jadi buronan karena kasus rekening triliunan yang dimilikinya serta di NTT, sedang terjadi proses pengadilan atas Brigpol Rudy Soik dimana sejumlah perwira Polri terindikasi terlibat dalam perdagangan manusia dari NTT.

Saya sangat yakin bahwa banyak contoh di negeri ini yang bisa ditambahkan selain dua contoh diatas, yang sebenarnya hanya merupakan akibat dari sistem yang koruptif dari tingkat atas sekali.

Yang perlu diselamatkan adalah Republik Indonesia

Jelas sekali dengan menerapkan asumsi ekstrim kita dapat lebih jernih melihat perbandingan akan lima kasus yang saat ini jadi perdebatan publik dan dengan sedikit melakukan analisa resiko serta mitigasinya kita dapat menjawab mana yang harus jadi prioritas penyelamatan dalam setiap langkah yang harus diambil kepala negara, termasuk dalam bentuk PERPPU yang disarankan kepada Presiden oleh banyak kalangan.

Kalau yang jadi prioritas adalah kepentingan negara, maka sangat tidak penting lagi tokoh tokoh yang terkait dengan persoalan ini, tidak Budi Gunawan, tidak Abraham Samad, bahkan juga bukan KPK maupun Polri, melainkan Republik Indonesia.

Itu satu satunya hal terpenting untuk diselamatkan. Resiko apapun harus diambil oleh kepala Negara demi kepentingan bangsa dan negara ini, termasuk kehilangan dukungan dari partai yang mengusungnya.

Penulis sangat yakin bahwa Presiden sangat memahami bahwa jabatan itu bukan hadiah dari partai pengusungnya yang harus dijaga dengan merawat hubungan dengan partai pengusungnya namun sejatinya adalah amanah dari rakyat penghuni nusantara ini, yang harus dijaga dengan memperjuangan kepentingan negara yang lebih luas.

Let Us Save Indonesia...

*tulisan ini pertama kali dirilis di Facebook dengan judul Save Indonesia, 9 Februari 2015