1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kartini Kendeng

Dewi Candraningrum20 April 2016

Manusia kerap memaksakan proses reproduksi segala sesuatu sampai bumi harus diaborsi berkali-kali. Sembilan Kartini Kendeng berjuang keras menjaga rahim bumi. Ikuti refleksi Dewi Candraningrum berikut ini.

https://p.dw.com/p/1IYF6
Indonesien 9 Kartini
Foto: picture-alliance/NurPhoto

Pada Selasa 12 April 2016, di depan istana, sembilan perempuan Rembang dipimpin oleh Sukinah (kemudian Karsupi, Sutini, Surani, Murtini, Giyem, Ngadinah, Rifambarwati, Deni Y.) menyemen kedua kakinya sebagai tindakan protes pada pemerintahan Jokowi-Kalla atas pendirian pabrik Semen di Pegunungan Kendeng Rembang.

Sejak tahun 2014, puluhan perempuan Watu Putih mendirikan tenda untuk melawan penghancuran lebih jauh biodiversitas, tangkapan air, dan kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih Rembang. Sampai sekarang dukungan untuk mereka berlipat ganda secara lokal dan nasional.

Akal ekologis yang mereka ajarkan ‘tak mengizinkan jarak' antara manusia dan alam - yang menolak subordinasi dan eksterioritas - yaitu keterpisahan antara manusia dan alam. CAT Watu Putih adalah ibu bagi mereka. Kepercayaan ini mengandaikan sebuah tindakan yang mereplika perilaku Bumi. Karena masing-masing manusia berada dalam jaring ecomimesis. Act of feet-cementing is act of speaking.

Kawasan CAT Watu Putih Pegunungan Kendeng Rembang merupakan kawasan lindung geologis karena karakternya yang khas dan spesifik. Peraturan perundangan yang melindungi CAT Watu Putih Rembang adalah sebagai berikut:

1) Peraturan Daerah Rembang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Rembang 2011-2031.

2) Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011 yang menetapkan kawasan sebagai CAT yang adalah suatu wilayah yang dibatasi hidrogeologis tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.

Meskipun begitu, pelanggaran atas kawasan ini dilakukan oleh pemerintah sendiri dengan menerbitkan izin semen. Perihal ini menarasikan bagaimana tindakan ini merupakan narasi anthroposen, dimana manusia menjadi biang dari semua manajemen ekologi yang kemudian tak baik, karena sifatnya yang merusak dan eksploitatif.

Saat ini, manusia hidup dalam sebuah era dimana manusia adalah pusat semesta. Keperkasaan manusia mengambil porsinya bagaimana ia mampu menumbuhkan segala sesuatu di dalam laboratorium-laboratorium, bagaimana ia mengubah proses kimia dalam lautan, dan bagaimana ia bahkan meluruskan atau mengubur sungai-sungai atas nama produktivitas lahan.

Geolog menyebutnya sebagai Anthroposen, sejak Pleistosen dan terakhir Holosen. Antroposen mengakui peran sentral manusia sebagai pengubah kekuatan geofisika planet bumi dan kemudian akan mendefinisikan takdir planet ini pada tahun-tahun mendatang. Empat puluh persen lebih dataran planet ini dikuasai manusia untuk menumbuhkan makanan bagi manusia.

Manusia mengubah iklim

Tiga perempat air juga telah dikontrol manusia. Saat-saat ini, saat-saat paling mengenaskan bagi planet ini sampai ia tak mampu melakukan regenerasi bagi dirinya sendiri. Manusia telah mampu mengubah iklim.

Manusia telah mendeklarasikan sebuah era, Anthroposen, era dimana nasib dan takdir planet bumi dan seisinya ada sepenuhnya di tangannya. Perihal ini adalah narasi ‘antropologi' bumi. Tetapi dalam praktoknya ia adalah narasi ‘andrologi'. Dimana perempuan yang terkandung dalam narasi dewi-dewi dalam Sanskrit tak sungguh-sungguh dapat menyuarakan dirinya. Bhumi, dalam Sanskrit adalah nama seorang dewi.

Dewi Candraningrum, pemimpin redaksi Jurnal Perempuan
Foto: Dewi Candraningrum

Mengembalikan narasi rahim Bhumi

Sembilan Kartini Rembang sedang mengembalikan narasi rahim Bhumi dalam penyelamatan lingkungan. Tindakan menyemen kaki ini merupakan protes keras. Aleta Baun dan ratusan perempuan Mollo juga melakukan protes dengan berani, dengan menenun di atas Gunung Mutis. Ketika Bhumi dihancurkan, biofoni, simfoni alam akan semakin hening, semakin sepi.

Karena binatang-binatang dipunahkan, dilenyapkan. Sementara keanekaragaman hayati dikalahkan oleh tujuan pembangunan jangka pendek. Meminjam Rachel Carson: “Musim Semi yang Sepi” (The Silent Spring) di tahun 1960-an menarasikan bagaimana ‘Barat' menghadapi masalah berat dengan sepinya alam dari suara cicit binatang akibat penggunaan masif pestisida yang kemudian membuat lebah dan burung dan binatang lain punah.

Manusia memaksakan proses reproduksi segala sesuatu sampai Bhumi harus diaborsi berkali-kali. Dan karenanya Bhumi seperti perempuan yang tak cukup. Ia terlentang di laboratorium manusia. Manusia menanam beberapa rahim dalam perutnya. Tubuhnya kurus. Matanya pucat. Sembilan Kartini sekarat.

Penulis:

Dewi Candraningrum, pemimpin redaksi Jurnal Perempuan

@dcandraningrum

**Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.