1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SeniJerman

Seniman Myanmar dan Perang Sipil yang Terlupakan

Nadine Wojcik
26 Juli 2023

Junta militer Myanmar telah menculik, menyiksa, dan membunuh penduduknya sendiri dalam dua tahun terakhir. Seniman yang aktif secara politik tidak punya pilihan selain hengkang. Karya mereka bisa dilihat di Berlin.

https://p.dw.com/p/4UNGh
Lukisan yang berhasil diselundupkan keluar dari Myanmar dan dipamerkan di Berlin, Jerman
Lukisan yang berhasil diselundupkan keluar dari Myanmar dan dipamerkan di Berlin, JermanFoto: Nadine Wojcik/DW

Lukisan cat minyak yang membuka sebuah pameran karya-karya seniman Myanmar di Berlin punya kisah spektakuler. Lukisan ini digulung dan disamarkan sebagai tas tangan, baru-baru ini diselundupkan keluar dari Myanmar.

Lukisan berjudul Bitch better have my democracy ini adalah karya yang mencolok dan penuh warna dari seniman Myanmar, Richie Htet. Ia melukisnya tidak lama setelah kudeta militer pecah di Myanmar pada Februari 2021. Saat diposting di media sosial, gambar itu langsung menjadi viral.

Saat ini, lukisan tersebut dianggap sebagai ikon protes nan berani melawan kediktatoran militer yang telah menewaskan ribuan orang dan memaksa sekitar 1,5 juta orang untuk pergi dari negara itu. Lukisan Htet menunjukkan sosok cantik berambut hitam Mie Bamar Pyi, personifikasi Myanmar, membawa perisai di satu tangan dan tombak di tangan lainnya.

Mie Bamar Pyi menyerang seorang Ogre, iblis dari mitologi Buddha, yang berpakaian seperti seorang jenderal dari junta militer Myanmar. Motifnya merujuk pada ikon Asia dan Barat. Ia mengutip pertempuran dewi Hindu Durga melawan iblis, yang juga mengingatkan audiens akan  penggambaran dari Malaikat Tertinggi Michael yang mengalahkan setan.

Seniman Myanmar rentan dipersekusi

Bagi pelukis Richie Htet, karya tersebut mewakili upaya kolektif rakyat Myanmar melawan junta militer. Namun bagi Li Li, salah satu penyelenggara pameran berjudul "We Are the Seeds: The Art of Myanmar's Spring Revolution", ini adalah sebuah keajaiban kecil bahwa lukisan ini dapat selamat sampai Berlin dan dipamerkan hingga 21 Juli di Open Society Foundation di Berlin.

"Jika lukisan itu harus dibuka di pemeriksaan keamanan bandara ketika meninggalkan negara itu, kontak kami mungkin akan berakhir di penjara," kata Li Li kepada DW.

Ritchie Htet di depan lukisannya yang berjudul Autopsy of the Irawaddy
Ritchie Htet di depan lukisannya yang berjudul Autopsy of the Irawaddy dalam pameran di Berlin, JermanFoto: Delphine Millet for the Open Society Foundations

Pameran ini menampilkan karya 18 seniman Myanmar, yang sebagian besar tinggal di pengasingan di Paris, seperti halnya Li Li dan Richie Htet. Dengan beragam pertunjukan yang menampilkan lukisan, instalasi, suara, dan video, Li Li ingin menarik perhatian pada perang saudara yang sebagian besar telah dilupakan di Eropa. 

Htet yang berusia 29 tahun dianggap sebagai pelukis menjanjikan dalam kancah seni kontemporer Myanmar. Ia mendapat perhatian internasional setelah negara itu mengalami proses demokratisasi tahun 2011. Htet tumbuh di bawah kediktatoran militer dan mengaku sebagai gay pada usia 14 tahun. Ini adalah tindakan berani. Meskipun bukan ilegal di Myanmar, homoseksualitas dianggap sebagai keadaan "tidak wajar". Setelah belajar di London, Htet kembali ke Yangon dan menjadi art director sebuah majalah mode.

Gelar pameran queer pertama di Myanmar

Kreativitasnya pun bangkit dan seolah tak terbendung. Htet mulai melukis gambar-gambar homoerotik berlatar belakang mitologi India dan Asia Selatan, yang menurutnya kaya akan karakter aneh. Pameran tunggal pertamanya, "A Chauk" (julukan Burma untuk pria homoseksual) menunjukkan perempuan dalam posisi berkuasa dan pria telanjang sebagai objek hasrat di galeri Myanm/art pada 2020.

Pameran queer pertama di Myanmar itu pun sukses: semua lukisan Htet terjual dan dia memutuskan untuk hidup sepenuhnya dari penjualan karya. Namun kemudian, pada Februari 2021 kudeta militer yang kejam tidak hanya mengakhiri mimpinya, tetapi juga kehidupan budaya Yangon yang beragam.

Pinky Htut Aung, seniman Myanmar yang kini tinggal di Paris dan mendapat suaka politik
Pinky Htut Aung, seniman Myanmar yang kini tinggal di Paris dan mendapat suaka politikFoto: Min Sett Hein

"Saya sangat terpukul. Saya merasa masa depan seperti direnggut dari saya, karena saya berencana untuk tinggal dan bekerja di Yangon. Saya berencana menjadikannya rumah saya."

Seniman di pengasingan: Luka bakar itu bisa terdengar

Artis dan musisi Pinky juga memutuskan untuk meninggalkan Myanmar pada musim semi 2021. Teman satu bandnya ditangkap dan laptopnya, yang menyimpan aksi protes bersama, disita. Pinky Htut Aung menunggu di Bangkok selama beberapa bulan sampai dia juga bisa mengambil beasiswa di Paris. Sekarang, seperti Richie Htet dan Li Li, dia bisa tinggal permanen sebagai pengungsi politik.

Pinky adalah seniman multifaset. Pria berusia 31 tahun itu menggubah musik, melukis, dan bekerja dengan kolase suara. Untuk pameran di Berlin, dia mencurahkan perhatian pada awan. "Saya terobsesi dengan awan sejak saya masih kecil. Mereka sangat spiritual bagi saya. Mereka tidak pernah mati, dan mereka berubah, seperti halnya roh kita."

Karyanya yang berwarna susu dan tembus cahaya bergantung bebas dari langit-langit, diiringi suara yang seolah bernuansa surgawi. Awan-awan buatannya tidak dicat, tapi dibakar menjadi kertas tembus pandang tebal dengan bantuan lilin. "Saya sempat takut akan menyebabkan kebakaran di apartemen kecil saya dalam proses itu," katanya.

Pinky mengatakan dia membuat keputusan sadar untuk bereksperimen dengan api dalam karya tersebut. "Di Paris, tentu saja, saya mengikuti peristiwa di Myanmar. Lewat ponsel, saya selalu melihat ada sesuatu yang terbakar." 

Negara yang kembali dilumpuhkan rasa takut

"Orang-orang di seluruh Myanmar ketakutan," kata Franz Xaver Augustin, yang pada tahun 2014 sempat mengoperasikan kembali Goethe-Institut di Yangon, setelah melakukan persiapan selama beberapa tahun. Ia juga menjabat sebagai direktur Goethe-Institut Yangon hingga 2019. "Saya mengalami Myanmar sebelum dibuka pada 2011. Mengerikan, suasana ketakutan."

Selama periode demokratisasi, institut ini adalah sumber daya penting bagi para seniman, dan tetap menjadi tempat perlindungan bagi mereka hingga saat ini. Sejak awal, Augustin telah mengawani beberapa seniman yang sekarang berpameran di Berlin. Pada saat itu, dia tidak berpikir bahwa mereka mungkin harus segera meninggalkan negara mereka.

Richie Htet telah dipolitisasi oleh kudeta militer. Selain gambar homoerotik, karyanya kini membahas perang saudara di negaranya.

Taktik militer menjadi lebih brutal selama perang ini. Mereka menggunakan kekerasan seksual dan memusnahkan seluruh desa. Pameran di Berlin menampilkan lukisan yang cukup mengganggu yang dilukis oleh Htet dan berjudul Autopsy of the Irrawaddy. Lukisan itu menggambarkan mayat yang dijahit.

"Saya ingin menunjukkan kekejaman yang dilakukan tentara terhadap penduduk," katanya.

(ae/hp)