1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

SETARA Sikapi Positif SBY Bubarkan Ormas Anarkis

9 Februari 2011

SETARA INSTITUTE menyatakan setiap ada kekerasan, kuncinya adalah ditindak. Kedua, tugas makro pemerintah adalah mengedukasi masyarakat yang rentan terhadap Masalah toleransi.

https://p.dw.com/p/10ENU
Pasca serbuan ke CikeusikFoto: AP

Mobilisasi massa yang meneriakan takbir, sambil merajam orang,  menyerukan pembunuhan bagi meraka yang dianggap berkeyakinan sesat dan membakari gereja, serta memukuli orang-orang liberal, ini bukanlah gambaran di Afghanistan kala dipimpin rezim Taliban, melainkan gambaran yang baru-baru ini terjadi di Indonesia, negara yang disebut model pluralisme.

Berapa lagi warga Ahmadiyah tewas dan rumah ibadah dibakar, baru pemerintah dan polisi turun tangan? Inilah kritikan pedas yang dilontarkan para aktivis hak asasi manusia menyikapi lambannya pemerintah bersikap terhadap kasus-kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. Setelah serangan brutal terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik dan gereja-gereja di Temanggung baru-baru ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan pembubaran  kelompok-kelompok anarkis.

Lembaga Setara Institute for Democracy and Peace menyatakan terobosan yang dapat ditempuh pemerintah  pertama-tama adalah dengan memeriksa pimpinan-pimpinan organisasi masyarakat yang diidentifikasi pengusung aspirasi intoleran dan aktif melakukan kekerasan. Beberapa ormas yang dimaksud dipaparkan Ismail Hasani dari  Setara : „Front Pembela Islam, kemudian ada Gerakan Reformis Islam di Cianjur, Forum Ukhuwah Islamiyah di Cirebon, serta Forum Umat Islam FUI, yang tidak menggunakan kekerasan fisik, tapi melakukan infiltrasi ke MUI yang menjadi legitimasi kelompok-kelompok ini untuk melakukan kekerasan. Yang paling gencar melakukan kekerasan memang FPI.“

Hasani menambahkan diduga kuat kelompok-kelompok garis keras inilah yang menggerakan massa di Cikeusik, dengan memanfaatkan situasi sosial ekonomi dan intoleransi yang berkembang di kelompok-kelompok masyarakat: „Hari ini polisi mengatakan ada Gerakan Muslim Cikeusik, ini merupakan organisasi taktis, seperti misalnya Komunitas Muslim Puncak, ada penggerak dan aktor intelektual. Mengapa yang tampak anarkisme massa? Memang tingkat intoleransi cukup tinggi, tapi juga ada faktor ekonomi, misalnya dibayar 20 ribu rupiah, kelompok dari kantong kemiskinan di Tanggerang mau berjalan ke Bekasi. Ada masyarakat rentan, yang mudah terprovokasi. Ada pertemuan antara kondisi sosiologis yang rentan, dan peniup terompet intoleransi ini.“

Selain pembubaran kelompok-kelompok anarkis ini dan memeriksa serta menyeret ke meja hijau para pelaku kekerasan, menurut Hasani dari Setara Institute, pemerintah juga harus mengambil langkah-langkah lainnya: “Kelompok ini besar tapi tak menjadi mainstream masyarakat Indonesia. Bila pemerintah berani bertindak keras, mayoritas masyarakat pasti mendukung, karena ini meresahkan, juga bagi umat Islam. Dalam pengamatan kami, polisi membiarkan, bukan hanya di dua kasus kemarin, melainkan sejak tahun 2007, dengan alasan ini aksi massa, padahal kelompok-kelompok ini mudah diidentifikasi. Setiap ada kekerasan, kuncinya adalah ditindak. Kedua, tugas makro pemerintah, adalah mengedukasi masyarakat kita yang rentan.”

Di tingkat parlemen, Setara mendesak pencabutan produk hukum yang diskriminatif, karena selama ini telah menjadi legitimasi kelompok-kelompok tersebut untuk melakukan tindak anarkis.

Ayu Purwaningsih

Editor : Hendra Pasuhuk