1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Setelah Pilkada Usai

25 April 2017

Pilkada DKI tuntas. Ahok kalah telak dari Anies. Kita berharap gubernur mendatang dapat melanjutkan segala hal baik yang telah dilakukan Ahok dan menunaikan janji-janji manisnya selama masa kampanye. Opini Anton Kurnia.

https://p.dw.com/p/2bh3D
Indonesien Joko Widodo
Foto: Getty Images/O. Siagian

 

Delapan puluh tahun silam Jorge Luis Borges, pengarang terkemuka Argentina, menulis dalam "A Pedagogy of Hatred” bahwa "unjuk kebencian itu lebih tak senonoh ketimbang perilaku eksibisionisme” dan menandaskan bahwa "mengajarkan kebencian adalah kejahatan”. Tulisan itu adalah respons keras Borges atas politik anti-Yahudi yang diamalkan Nazi di Jerman.

Sejarah mencatat Hitler naik ke tampuk kekuasaan dengan memanfaatkan pedagogy of hatred ini. Kita tahu ia kemudian membuat kerusakan parah dalam sejarah: memicu Perang Dunia Kedua yang menyebabkan jutaan orang terbunuh dan melakukan holocaust dengan membantai jutaan orang Yahudi.

Penulis:  Anton Kurnia
Penulis: Anton Kurnia Foto: privat

Apa yang ditulis Borges sepuluh windu lalu itu menjadi relevan saat ini di negeri kita sendiri. Kita sedih dan ngeri melihat belakangan ini unjuk kebencian dan ajakan untuk membenci marak di mana-mana. Perbedaan agama, perbedaan ras, dan perbedaan pandangan politik menjadi pemicu. Utamanya dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang pada ujungnya menyisakan dua kandidat: gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang double minority karena dia keturunan Tionghoa dan Kristen (berpasangan dengan Djarot Syaiful Hidayat) serta Anies Rasyid Baswedan yang muslim (berpasangan dengan Sandiaga Salahuddin Uno).

Politik Sektarian dan Kampanye Hitam

Dalam novel Salman Rushdie, Harun dan Samudra Dongeng, ada adegan karikatural saat Rasyid Khalifa si pendongeng ulung diminta sebuah partai politik untuk meramaikan kampanye mereka.

"Musuh-musuhku menyewa orang-orang murahan untuk menjejali telinga orang dengan cerita-cerita buruk tentang diriku dan orang-orang ceroboh itu menelannya mentah-mentah seperti susu. Untuk alasan ini aku berpaling kepadamu, Tuan Rasyid. Anda akan menceritakan kisah-kisah bahagia, kisah pujian, dan orang-orang akan memercayaimu, merasa bahagia, dan kemudian memilihku,” ujar sang politisi yang mencoba merayu Rasyid agar mau berkampanye untuk dia.

Inilah Suasana Pilkada DKI Jakarta

Begitulah. Bagi para politisi haus kekuasaan yang penting adalah perolehan suara sebanyak-banyaknya demi mendapatkan kursi. Bukan demi kepentingan rakyat banyak. Apalagi demi cita-cita mulia memperbaiki masa depan bersama yang adil sejahtera melalui program-program terencana yang berkesinambungan.

Lebih buruk lagi, semua itu kerap dilakukan dengan cara-cara kotor yang menghalalkan segala cara: berdusta, menipu, memberi janji kosong dan angin surga, atau pencitraan palsu. Setelah mereka terpilih, bagaimana nanti saja soal janji-janji itu, bukan?

Di sini, dalam gebalau pilkada DKI, kita melihat kampanye hitam semacam itu dimainkan. Kita menyaksikan betapa politik sektarian yang kotor digunakan. Kebencian disebarkan. Fitnah dan hoax merebak. Akibatnya konflik horizontal antara para pedukung paslon gubernur tak terhindarkan—utamanya melalui media sosial.

Sentimen anti-Tionghoa seiring dengan tuduhan Ahok sebagai "penista agama” diembus-embuskan secara masif: massa umat Islam dihasut dan dimobilisasi agar menolak gubernur "penista agama” yang "bukan pribumi” dan "berkewajiban” memilih "gubernur muslim”, sejumlah masjid dipasangi spanduk yang isinya menolak menyalatkan jenazah orang muslim yang memilih "penista agama” sebagai gubernur, bahkan khotbah Jumat pun dijadikan sarana untuk berkampanye penuh hasutan. Islam yang seharusnya menjadi rahmat bagi alam semesta digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik sesaat yang sesat.

Di sisi lain, banyak pihak mengakui bahwa Ahok yang sudah bekerja sebagai gubernur selama dua tahun telah melakukan banyak hal baik yang mengubah wajah Jakarta, di antaranya penataan ruang publik yang lebih baik—termasuk menyulap sungai-sungai di Jakarta yang semula penuh sampah menjadi jauh lebih bersih—serta menegakkan sikap antikorupsi dan transparansi di kalangan birokrasi. Sebelum isu sektarian menjelang pilkada ini diembus-embuskan, sebuah lembaga survei terkemuka menyatakan bahwa 60% warga Jakarta puas akan kinerja Ahok sebagai gubernur.

Memang Ahok punya kelemahan fatal. Dia tipe orang yang meledak-ledak dan sulit mengontrol emosi, termasuk kepada bawahan sendiri. Selain itu, oleh sebagian kalangan dia dikritik karena melakukan penggusuran terhadap warga dan terkesan mendukung reklamasi pantai Utara Jakarta—dua hal yang amat tidak populer bagi kalangan aktivis prorakyat.

Tenun Kebangsaan yang Koyak-moyak

Pada 19 April 2017 lalu pilkada DKI telah dituntaskan. Hasilnya kita sudah tahu sama tahu. Menurut hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survei, Ahok kalah telak dari Anies dengan perolehan suara kurang lebih 42% berbanding 58%. 

Bagaimanapun warga Jakarta telah memilih. Tentu saja kita berharap Anies sebagai gubernur mendatang dapat melanjutkan segala hal baik yang telah dilakukan Ahok dan menunaikan janji-janji manisnya selama masa kampanye, terutama soal penyediaan perumahan bagi warga dan lapangan pekerjaan yang menjamin kesejahteraan bersama. Namun, yang tak kalah penting adalah kewajiban moral memperbaiki kerusakan tatanan sosial yang menjadi dampak buruk kampanye pilkada selama berbulan-bulan.

Begitu banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh gubernur baru yang akan mulai bertugas Oktober mendatang untuk memperbaiki—meminjam istilah yang kerap didengungkan Anies sendiri—"tenun kebangsaan” yang apa boleh buat kini telah koyak-moyak akibat pilkada yang diracuni politik sektarian yang anti-keberagaman dan intoleran.

Saya mungkin agak naif dan sentimental dalam hal ini, tapi saya kira kekalahan Ahok—seorang minoritas yang sesungguhnya telah bekerja dengan baik meski belum sempurna—adalah kehilangan bagi kita semua yang masih percaya pada prinsip keadilan di mana setiap orang bisa menjadi apa saja selama dia mampu dan mau bekerja keras tanpa memandang ras, etnis, atau agamanya.

Anton Kurnia, penulis, buku terbarunya yang akan segera terbit adalah Dalam Bayangan Bendera Merah: Sejumlah Catatan dan Esai Budaya.

@AntonKurnia9

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.