1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Setengah Hati Memperingati 27 Juli

Aris Santoso25 Juli 2016

Ingat peristiwa 27 Juli? Apa yang dicapai PDIP saat ini, tak bisa dilepaskan dari peristiwa berdarah itu. Sebuah titik kulminasi pertentangan antara Soeharto-Jenderal Benny Moerdani. Simak opini Aris Santoso berikut ini

https://p.dw.com/p/1JSRb
Indonesien / Parlamentswahl / Anhänger von Oppositionspartei PDI-P
Foto: picture-alliance/dpa

Peristiwa 27 Juli 1996 memang sudah lama berlalu. Namun untuk peristiwa dengan magnitude besar, rentang waktu menjadi relatif, karena peristiwa dimaksud akan selalu tersimpan dalam memori bangsa, seperti halnya Peristiwa 1965 dan Kerusuhan Mei 1998.

Khusus untuk Peristiwa 27 Juli, ingatan itu menjadi lebih terang, karena subyek dari peristiwa itu, yaitu PDIP, hari-hari ini sedang menikmati manisnya kekuasaan. Terlebih apa yang dicapai PDIP saat ini, tidak bisa dilepaskan dari peristiwa berdarah tersebut.

Jejak Benny Moerdani

Hampir semua peristiwa besar di tanah air tidak dapat dilepaskan dari konflik internal militer, begitu juga dengan Peristiwa 27 Juli. Peristiwa itu merupakan titik kulminasi pertentangan antara Soeharto dengan Jenderal Benny Moerdani. Untuk operasi di lapangan Presiden Soeharto banyak memanfaatkan kubu ABRI Hijau (di bawah Jenderal Feisal Tanjung, Akmil 1961), sesuai kedekatan Soeharto dengan ICMI.

Penulis: Aris Santoso
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Kebetulan pada saat itu kondisi moril Soeharto sedang limbung, sekitar tiga bulan sebelumnya, istrinya terkasih (Ibu Tien) baru saja meninggal dunia. Sudah menjadi pengetahuan umum, Ibu Tien berperan besar di belakang Soeharto dalam mengelola kekuasaan. Beban psikologis Soeharto tersebut sudah tentu terbaca oleh kubu Benny.

Dukungan Jenderal Benny Moerdani terhadap figur Megawati telah dirintis sejak tahun 1987, ketika Megawati tampil sebagai juru kampanye andalan PDI (belum memakai label Perjuangan), menjelang Pemilu 1987. Ketika posisi Benny surut ke belakang, dukungan terhadap Megawati kemudian dilanjutkan oleh anak didiknya, seperti Jenderal Hendro Priyono (Akmil 1967) dan Jenderal Agum Gumelar (Akmil 1968).

Bahkan figur Hendro Priyono masih berperan hingga sekarang. Saat tulisan ini disusun, dua orang dekat Hendro, yaitu Komjen Pol (Purn) Gories Mere dan Diaz Hendro Priyono (anak Hendro Priyono), baru saja diangkat sebagai staf khusus Presiden.

Bagi kubu Benny sendiri, peristiwa 27 Juli itu sendiri bisa dianggap “investasi politik”. Karena mereka baru dapat memetik hasilnya jauh di kemudian hari, saat Soeharto (dan Habibie) benar-benar jatuh. Sementara yang memperoleh manfaat langsung adalah Jenderal Wiranto (Akmil 1968), sesaat setelah peristiwa Wiranto menjadi KSAD, menggantikan Hartono (Akmil 1962). Wiranto bisa mulus menjadi KSAD, karena kandidat yang lain, yaitu Letjen Suyono (Akmil 1965) telah tersingkir pasca Peristiwa 27 Juli.

Sungguh skenario politik yang canggih, dan juga rumit. Maknanya baru bisa kita baca sekian tahun seletah peristiwa berlalu. Bagaimana kubu Benny bisa mengendalikan konflik yang melibatkan tiga jenderal dalam lingkaran Soeharto sendiri. Tanpa ada kepastian manfaat jangka pendek apa yang bakal mereka terima. Namun kini terbukti, hubungan antara kubu Benny (melalui Hendro Priyono dan Luhut Panjaitan) dengan Megawati (termasuk Jokowi dan PDIP), seolah sudah tak terpisahkan lagi. Dan tak seorang pun yang tahu, bagaimana ujung dari kemesraan ini.

Kedekatan Megawati dan Letjen Sutiyoso (Akmil 1968), juga bisa dipahami dalam konteks ini. Sutiyoso yang menjabat Pangdam Jaya saat peristiwa 27 July terjadi, justru memperoleh dukungan Megawati saat maju lagi sebagai Gubernur Jakarta (2002). Sutiyoso adalah bagian dari lingkaran Benny Moerdani. Tahun 1974 Sutiyoso sudah terlibat dalam Operasi Flamboyan di Timor Leste, yang dikendalikan langsung Benny Moerdani. Komandan Operasi Flamboyan adalah Brigjen Dading Kalbuadi, teman dekat Benny sejak lama.

Soal Wiranto yang belum firm. Posisinya seolah di “perbatasan” antara lingkaran Cendana dan kelompok Benny. Bila dihubungkan dengan kondisi sekarang, hal itu tampak ketika Wiranto hanya memperoleh bagian yang terbatas dalam alokasi kekuasaan. Menteri yang diusung Partai Hanura (pimpinan Wiranto), selalu masuk daftar yang bakal dikorbankan bila isu soal perombakan kabinet merebak.

Pesona Kekuasaan

Sampai sekarang belum jelas benar, mengapa pihak PDIP seolah ingin melupakan peristiwa tersebut. Padahal peristiwa itu merupakan modalitas awal bagi PDIP dalam meraih kejayaannya hari ini.

Salah satunya kemungkinannya adalah, disebabkan PDIP sudah memperoleh kompensasi (baca: kehormatan) yang berlebih sebagai dampak Peristiwa 27 Juli, sehingga peristiwa itu tidak relevan lagi untuk diingat. Bukankah sudah jamak dalam masyarakat kita, kekuasaan dan lingkungan yang berganti menjadikan seseorang mudah dihinggapi amnesia sejarah.

Bagi PDIP saat ini, tentu lebih memicu andrenalin mengelola kekuasaan, ketimbang memikirkan hal-hal sentimentil terkait Peristiwa 27 Juli. PDIP sedang sibuk memikirkan bagaimana skema paling menguntungkan sehubungan majunya kembali Ahok sebagai Gubernur Jakarta.

PDIP sempat salah langkah, sehingga sampai perlu memanfaatkan organisasi satelitnya, yaitu relawan Jokowi, untuk menghambat laju Ahok.

Kemudian pada level yang lebih tinggi, Megawati masih memosisikan diri sebagai King (atau Queen) Maker, yang tidak senantiasa mulus dalam berhubungan dengan Presiden Jokowi. Dalam titik ini, Jokowi di-backup Hendro Priyono dan Luhut Panjaitan, agar tidak terlalu direpotkan oleh kehendak Megawati. Lagi-lagi kelompok Benny mengambil peran.

Dari observasi lapangan, kita bisa melihat hampir tidak ada bedanya antara PDIP dengan parpol lainnya, dalam merespons kekuasaan. Tidak ada hal baru yang ditawarkan PDIP, dalam etika dan perilaku anggotanya, dalam mengelola kekuasaan. PDIP sekadar menjalani kebiasaan yang sudah berlaku selama ini: the winner take it all.

Sementara soal komitmen pada wong cilik, hati kecil saya berkata, walau bagaimana pun partai ini masih bisa diharapkan. Dalam beberapa kali pembicaraan informal dengan eksponen PDIP, mereka masih nyambung bila diajak bicara soal tokoh kiri semacam Tan Malaka, Sutan Sjahrir (mantan Perdana Menteri), atau Amir Sjarifuddin (mantan Perdana Menteri yang terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948). Sesuatu yang sulit terjadi bila berjumpa dengan kader partai politik lain.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai staf administrasi di lembaga HAM Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.