1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Siapa Min Aung Hlaing, Dalang Konflik di Rakhine?

4 September 2017

Jendral Min Aung Hlaing menikmati posisi kunci di balik panggung sementara dunia menghujat Aung San Suu Kyi. Padahal dia dituding bertanggungjawab atas taktik brutal militer Myanmar terhadap etnis Rohingya.

https://p.dw.com/p/2jKYL
Myanmar Treffen Min Aung Hlaing und Aung San Suu Kyi
Jendral Min Aung Hlaing dan Aung San Suu KyiFoto: Reuters/Soe Zeya

Boleh jadi Jendral Min Aung Hlaing saat ini adalah sosok paling berkuasa di Myanmar. Panglima militer itu disebut-sebut oleh organisasi HAM sebagai hambatan terbesar bagi proses demokratisasi Myanmar dan penegakan Hak Azasi Manusia di Myanmar.

Di tengah konflik berdarah di Rakhine, mata internasional tertuju pada Aung San Suu Kyi yang bungkam dan bergeming. Sementara Min Aung Hlaing menikmati posisinya di luar hujan kritik terhadap pemerintahan sipil di Yangon.

Seperti ketika Aung San Suu Kyi membatalkan lawatannya ke Indonesia November 2016 silam lantaran mengkhawatirkan aksi protes, Hlaing disambut dengan karpet merah di Brussels, Belgia, untuk menyambangi pertemuan Dewan Militer Eropa.

Padahal jendral senior Myanmar itu diyakini ikut bertanggungjawab atas gelombang kekerasan yang bergulir di sejumlah negara bagian, termasuk di Rakhine.

Lahir dan dibesarkan di Tenasserim, di dekat perbatasan Thailand, Hlaing menikmati pendidikan hukum di Yangon sebelum mengabdikan diri pada militer. Sosok pendiam itu baru dikenal luas setelah berhasil memadamkan pemberontakan Myanmar Nationalities Democratic Alliance Army di Kokang, 2009 silam. Akibat pertempuran tersebut sekitar 37.000 warga sipil mengungsi ke Cina.

Kini Hlaing menikmati pengaruh besar tanpa menghadapi tekanan dunia internasional. "Hanya dia yang dapat menghentikan pembunuhan terhadap orang-orang Rohingya,” kata Mark Farmaner, Direktur Burma Campaign Inggris dalam sebuah pernyataan.

Bersamanya, militer Myanmar melanjutkan taktik keji di Rakhine seperti yang juga digunakan buat mengatasi pemberontakan di lima negara bagian lain. Selain membunuh warga sipil, militer juga tercatat mempekerjakan penduduk secara paksa, memerkosa perempuan dan membakar desa-desa.

Kepada BBC ia pernah mengatakan militer belum akan mengundurkan diri dari pemerintahan sipil Myanmar selama pemberontakan masih berkecamuk. "Bisa jadi dalam lima atau sepuluh tahun. Saya tidak tahu," ujarnya.

rzn/hp (Irrawaddy, HufPost, BBC, ACRS)