1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Siapa yang Pintar dan yang Bodoh: Elite atau Rakyat?

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
30 Januari 2024

Bukan hanya Pemilu Legislatif (Pileg) untuk memilih para calon wakil rakat di DPR saja yang berlangsung secara langsung, pemilihan kepala pemerintahan dari pusat hingga kampung juga.

https://p.dw.com/p/4bJ5X
Gambar simbol elite dan rakyat
Gambar ilustrasi kekuasaan dan bawahanFoto: picture-alliance/dpa

Di kampungku, yang terletak di lereng pegunungan dan pedalaman Kabupaten Batang, Jawa Tengah, setiap kali ada pemilihan kepala desa (kades atau lurah) atau pamong praja seperti kepala dusun (kadus) selalu ramai, riuh, dan hingar bingar. Fenomena ini terjadi sejak tahun 1999, yang merupakan pemilihan kades (Pilkades) pertama yang dilakukan secara langsung oleh rakyat atau warga kampung. Bukan hanya kades atau kadus yang dipilih secara langsung. Jabatan pamong praja lainnya (misalnya bayan atau "kaur umum") juga dipilih langsung oleh warga. Hanya sekretaris desa (carik) yang tidak dipilih warga.

Penulis: Sumanto al Qurtuby
Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Sebelumnya, di zaman Presiden Suharto, kades atau lurah dipilih oleh camat atau bupati secara diam-diam sehingga tidak menimbulkan keramaian. Sementara jabatan pamong praja lainnya (kadus, bayan, lebe atau kaur keagamaan, dan lainnya) dipilih oleh kades. Entah bagaimana ceritanya, kades/lurah di kampungku dulu, sebelum era 1999, tidak pernah diganti. Ia menjabat lurah selama bertahun-tahun. Baru tahun 1999 ada pergantian kades.

Kelanggengan itu bisa jadi lantaran adanya semacam hubungan patronase (patron-client relation) yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara kades dan atasannya: camat, kepala bagian (kabag) pemerintahan kabupaten, atau bupati dengan berbagai cara. Misalnya, memastikan urusan pajak lancar jaya. Kemudian Golkar, parpol penguasa Orde Baru, harus menang mutlak di setiap Pemilihan Umum (Pemilu). Kalau bisa 100 persen atau minimal 99,9 persen.

Untuk menyenangkan atau membahagiakan atasannya dalam urusan kesuksesan menarik pajak dan pemenangan Golkar itu, si kades rela melakukan apa saja, termasuk memaksa, melakukan kekerasan, dan memusuhi rakyat dan keluarganya sendiri. Warga yang tidak memilih Golkar bisa dipastikan akan babak belur: dimaki, dipukul, dilempar kursi, dan lainnya. Semua dilakukan di muka umum. Salah seorang warga yang "langganan" menerima perlakuan buruk dari kades dan (sebagian) pamong praja adalah anggota keluarga kades itu sendiri lantaran ia menjadi pengikut setia PDI (Partai Demokrasi Indonesia).

Sejak itu, kades (dan pamong praja) tidak bisa seenaknya lagi menyiksa warga yang tidak memilih Golkar yang sejak "Era Reformasi" tidak lagi menjadi "partai penguasa." Bagi warga kampung, Pemilu tidak lagi sebuah "drama mencekam" melainkan "pesta riang gembira." Warga boleh memilih partai mana pun yang mereka sukai.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Pada tahun 1999, ada 48 partai yang ikut kontes Pemilu lantaran rakyat dibolehkan mendirikan parpol. Elite PDI pecah. Sebagian dari mereka (di bawah komando Megawati) mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pada Pemilu 1999, Golkar tidak lagi menjadi satu-satunya partai yang berjaya di kampung. Sejumlah partai juga mampu meraup suara signifikan di kampung, khususnya PDIP atau PKB.

Sejak tahun 1999, secara bertahap, bukan hanya Pemilu Legislatif (Pileg) untuk memilih para calon wakil rakyat di DPR saja yang berlangsung secara langsung, pemilihan kepala pemerintahan dari pusat hingga kampung juga berlangsung secara langsung. Dari presiden, gubernur, bupati, wali kota hingga kades dan kadus dipilih secara langsung. Mungkin hanya camat atau wedono saja yang tidak dipilih langsung oleh warga. Jadi warga betul-betul menikmati pesta pileg, pilpres, pilgub, pilbub dan lainnya.   

Kredibilitas, penting enggak, sih?

Setelah warga kampung diberi kemerdekaan untuk memilih wakil rakyat dan kepala pemerintahan, apakah mereka menggunakan hak pilihnya dengan baik untuk memilih kandidat yang kredibel dan berkualitas agar kondisi kampung dan kehidupan mereka menjadi lebih baik? Jawabannya singkat dan jelas: tidak. Mayoritas warga kampung cenderung tidak peduli dengan apa yang namanya kredibilitas dan kualitas para kandidat yang berlaga di pileg, pilpres, pilgub, pilbup dan lainnya.

Mayoritas dari mereka bersikap pragmatis, acuh, dan masa bodoh dengan tetek-bengek semua itu. Sebagian besar dari mereka menganggap siapa pun yang akan menjadi wakil rakyat dan kepala pemerintahan tidak akan mengubah nasib mereka. Karena itu mereka lebih memilih "jalan pintas" dan pragmatis yang lebih menguntungkan, yakni siapa pun yang "servisnya" lebih baik dan "amplopnya" (baca, "uang sogokan” atau warga kampung menyebutnya "uang grenjel”) lebih banyak, maka dialah yang akan mereka pilih.

Para elite – baik elite pusat, elite daerah, maupun elite kampung – yang berlaga di pemilihan langsung itu tahu dan sadar semua itu. Karena itu, mereka juga berlomba-lomba memberi "servis" dan "amplop" terbaik pada warga, agar kelak harapannya bisa terpilih. Bentuk dari 'servis' itu bermacam-macam, tergantung "isi kantong" calon. Ada yang membagikan beras atau pakaian (baju, peci, daster, dsb). Ada pula yang menyewakan truk atau angkutan umum (bus dan lainnya) untuk kampanye. Yang lain memfasilitasi hiburan bagi warga (misalnya menggelar musik ndangdut, campur sari, atau wayang). Yang lainnya lagi membagikan atribut partai (kaos atau bendera). Maka jangan heran jika banyak warga kampung yang mengoleksi atribut beberapa partai.

Bukan hanya bentuk servis yang beraneka ragam, "amplopnya" pun bervariasi: dari puluhan ribu hingga ratusan ribu. Bahkan untuk kasus pilkades atau pilkadus bisa mencapai jutaan rupiah per kepala. Untuk kasus pilkades jauh lebih ekstrem dan "ugal-ugalan" ketimbang pilpres dan lainnya. Para kontestan bukan hanya menyiapkan isi kantong yang banyak, tetapi juga servis yang memuaskan sejak mereka mendeklarasikan diri untuk maju berlaga di ajang pilkades.

Misalnya, untuk "merawat" konstituen dan pemilih potensial, mereka harus mengurus biaya perawatan rumah sakit atau uang sumbangan (jika ada warga kampung yang punya hajatan). Mereka juga harus siap jika sewaktu-waktu "dipinjami" uang. Para kandidat juga harus rajin mengeluarkan "uang rokok." Selain itu, rumahnya harus terbuka 24 jam seperti toko 7-Eleven untuk menerima warga yang sewaktu-waktu datang ke rumah untuk keperluan ini-itu atau sekadar bercengkerama.

Singkatnya, menjelang pemilihan, para kandidat menjelma bagaikan Sinterklas yang baik hati dan mahapemurah. Warga kampung memanfaatkan momen itu sebaik-baiknya karena mereka tahu atau paham betul jika kelak misalnya si kandidat terpilih menjadi kades, maka ia tidak akan menjadi Sinterklas lagi karena "peran" dan "akting” sebagai Sinterklas sudah berakhir. Tapi bagi warga, mereka tidak peduli siapa pun yang menjadi kades nanti: Sinterklas yang baik atau Tuan Takur yang jahat. Yang penting mereka sudah untung: mendapat "amplop" banyak dan "servis" memuaskan sebelum pilkades. Dalam konteks ini, siapa yang pintar dan yang bodoh: elite atau rakyat?

Sumanto Al Qurtuby

Pendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial. Terima kasih.