1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sibuk Tolak LGBT, Ilmu Pengetahuan Tertinggal

4 Juli 2017

Kita berada dalam kegelapan apabila kita menolak ilmu pengetahuan sebagai cahaya penuntun kita berjalan, termasuk yang berkenaan dengan LGBT. Opini Nadya Karima Melati.

https://p.dw.com/p/2eoZ6
Ukraine Kiew An LGBT activist attends a rally against Homophobia and Transphobia
Foto: Reuters/G. Garanich

Dalam kurun waktu tiga tahun ini sesungguhnya sudah lebih dari lima universitas baik dari pihak rektorat maupun forum kemahasiswaan yang juga disponsori oleh universitas membuat seminar, pernyataan maupun demonstrasi terang-terangan menolak LGBT. Sebut saja Universitas Lampung (2015),  Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Riau, Universitas Tadulako, Universitas Garut (2016) dan tentu saja yang terakhir Universitas Andalas (2017) yang terang-terangan meminta surat pernyataan bukan LGBT.

Penolakan berbagai universitas ini bukan tanpa alasan, karena pada tahun lalu, menteri pendidikan tinggi Republik Indonesia Muhammad Natsir menyatakan melarang LGBT masuk kampus. Pelarangan dan penolakan ini hanyalah viral saja dari pernyataan 'bapak menristek'.

Penulis:Nadya Karima Melati
Penulis:Nadya Karima Melati Foto: N. K. Melati

Hal yang dilakukan para universitas ini merupakan potret kemajuan pengetahuan ilmu pengetahuan di Indonesia saat ini, mandeg, tidak ada kemajuan sama sekali.

Universitas sebagai institusi pendidikan telah membuktikan sendiri bahwa mereka gagal mendidik melalui tindakannya yang mendiskriminasi minoritas seksual. Tulisan ini menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang di Indonesia karena ulah budaya dari dalam kampus itu sendiri.

Larangan berpikir kritis di kampus

Kementrian pendidikan yang lalu, Muhammad Nuh pernah membuat target angka kasar setidaknya 30% pelajar lulusan Sekolah Menengah Atas mampu melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi.

Namun bergantinya pemerintahan tidak memberikan perubahan yang begitu berarti. BPS mencatat setidaknya ada 689,181 orang mampu berkuliah di tahun 2015 sedangkan jumlah pelajar SMA adalah 4,232,572 orang., itu artinya hanya 16 % lulusan SMA yang mampu melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.

Secara kasar pula bisa kita lihat mengapa sangat sedikit jumlah pelajar yang mampu melanjutkan sekolahnya ke jenjang univeritas atau institut yakni karena jumlah universitas dan perguruan tinggi yang masih terbatas dan masalah biaya kuliah yang mahal. Sudah banyak laporan mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi sehingga banyak yang memang pergi ke universitas bukan untuk mendapatkan pendidikan lebih lanjut dan hanya mengejar gelar.

Dan kampus memenuhi kebutuhan tersebut, bertindak seperti mesin pencetak gelar. Lebih khususnya mencetak gelar dengan manut saja perintah atasan tanpa berpikir ulang. Apa yang dilakukan kampus dengan menuruti begitu saja perintah menteri dan menutup diri untuk memahami LGBT seperti kuda yang dicocok hidungnya. Lebih buruk lagi karena pak menteri sebenarnya sudah menarik ulang pernyataannya, tetapi pihak universitas tidak melakukan verfikasi dan terus mengikuti perintah yang pertama. Kampus sebagai lembaga yang harusnya memberikan fasilitas dan dorongan untuk berpikir kritis sudah gagal.

Belum lagi penelitian para mahasiswa yang dianggap harus ‘politically correct'. Saya dengan organisasi saya SGRC pernah mendapati seorang mahasiswa yang harus merevisi keseluruhan skripsinya karena terdapat kata ‘Gay' pada judul skripsinya, revisi ini tidak tanggung-tanggung diminta satu hari sebelum dia maju sidang.

Sebagai karya akademik dan akademisi, kampus seharusnya membebaskan para mahasiswanya karena universitas adalah ladang untuk berpikir bebas.

Tanpa berpikir melampaui batas-batas, tidak akan ada penemuan baru. Selama mahasiswa bertanggungjawab secara metode dan mau mengerjakan penelitiannya sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, pihak universitas harusnya mendorong dan menjamin hak para mahasiswa untuk berpikir. Universitas harusnya tahu bahwa penelitian tidak selalu tentang hal yang baik-baik dan menyenangkan penguasa.

Gelap ilmu pengetahuan di tangan akademisi

Akibatnya dari kampus yang tidak berpikir kritis ini nyata: kegelapan ilmu pengetahuan dan kebodohan yang dipelihara jadi budaya. Lihat saja bagaimana kemajuan-kemajuan sosial seperti penemuan identitas keragaman gender di masyarakat ditolak dengan argumen moral, bukan argumen kritis dan ilmiah seperti yang seharusnya dilakukan para akademisi. Mengapa bisa begitu? karena akademisinya sendiri miskin bacaan dan tidak mau terbuka dengan pengetahuan baru.

Kemajuan-kemajuan di bidang sains misalnya telah mengakui adanya interseks, kondisi manusia yang dilahirkan dengan kromosom XXY atau YYX yang membuat jenis kelaminnya tidak bisa dikategorikan laki-laki atau perempuan. Dalam bidang psikologi, WHO mengeluarkan klasifikasi penyakit ICD 10 menyatakan homoseksual tidak lagi termasuk dalam gangguan jiwa.

Dalam bidang antropologi pengakuan akan identitas gender yang beragam justru ditemukan oleh peneliti asing di negeri kita sendiri, Indonesia, tepatnya di Bugis, Sulawesi Selatan yang memiliki lima gender: laki-laki, perempuan, calalai, calabai dan bissu.

Akankah Ada Masa Depan?

Beberapa negara maju secara ekonomi dan Ilmu Pengetahuan seperti Australia bahkan telah menerima gender ketiga ‘gender X' sebagai identitas yang diakui negara. Tapi kita tidak tahu atau tidak mau menerima semua kemajuan itu dengan alasan moral, dan sedihnya argumen itu dilontarkan oleh warga kampus.

Kita benar-benar akan berada dalam kegelapan apabila kita menolak ilmu pengetahuan sebagai cahaya penuntun kita berjalan, termasuk yang berkenaan dengan LGBT.

Apakah kita tidak mau belajar dari sejarah Eropa yang berada pada masa kegelapan ilmu pengetahuan pada abad ke 11-15 -- ketika ilmu pengetahuan diberangus --, para pemikir lari ke negeri seberang: Persia atau Andalusia.

Bukankah ini juga yang terjadi pada kita hari ini? Peneliti dan akademis yang serius menyadari bahwa mereka ditentang ketika berusaha untuk berpikir kritis di negeri sendiri? Kini semua orang senang dengan tren agama mayoritas sebagai penentu moral dan mereka sedang menuntun bangsa dalam kegelapan.

Penulis: Nadya Karima Melati

Essais dan Peneliti Lepas. Koordinator SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies). Tertarik pada topik sejarah sosial, feminologi dan seksualitas.

@Nadyazura

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis