1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Penegakan HukumSingapura

Singapura Eksekusi Mati Napi Perdagangan Satu Kilogram Ganja

26 April 2023

Seorang pria di Singapura dihukum mati dengan cara digantung karena bersekongkol menyelundupkan satu kilogram ganja. Singapura adalah salah satu negara dengan undang-undang antinarkoba terberat di dunia.

https://p.dw.com/p/4QYg3
Keluarga Tangaraju Suppiah yang diekekusi mati akibat perdagangan ganja lebih dari 1 kg.
Foto: Roslan Rahman/AFP/Getty Images

Singapura akhirnya mengeksekusi mati Tangaraju Suppiah yang dituduh mengoordinasikan pengiriman ganja pada Rabu (26/05), meski ada permohonan grasi dari keluarganya dan protes dari para aktivis.

Aktivis Kirsten Han dari Transformative Justice Collective membenarkan bahwa eksekusi mati terhadap pria berusia 46 tahun itu telah dilakukan dan keluarganya telah diberikan akta kematian.

Tangaraju sebelumnya dinyatakan bersalah pada tahun 2017 karena dinilai "bersekongkol dengan terlibat dalam konspirasi untuk memperdagangkan” sebanyak 1.017,9 gram ganja, dua kali volume minimum untuk hukuman mati di Singapura.

Dia pun divonis mati pada tahun 2018 dan Pengadilan Banding mendukung keputusan tersebut.

Sehari jelang eksekusi mati terhadap Tangaraju, Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah meminta Singapura untuk "segera mempertimbangkan kembali” jadwal eksekusi. Namun, permintaan itu tampaknya tidak digubris oleh Singapura.

Mengapa PBB prihatin?

Singapura adalah salah satu negara yang memiliki undang-undang antinarkoba terberat di dunia. Singapura meyakini bahwa hukuman mati adalah upaya pencegahan yang efektif untuk melawan perdagangan narkoba.

Namun, Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB tidak sepakat. "Hukuman mati masih digunakan di sejumlah kecil negara, sebagian besar karena mitos bahwa hukuman itu mampu mencegah kejahatan,” kata kantor itu dalam sebuah pernyataan.

"Kami memiliki keprihatinan seputar proses hukum dan menghormati jaminan persidangan yang adil. Kantor Hak Asasi Manusia PBB meminta pihak berwenang untuk tidak melanjutkan eksekusi matinya,” tambah pernyataan itu.

Dalam kesempatan terpisah pada Selasa (25/04), juru bicara Kantor HAM PBB Ravina Shamdasani meminta pemerintah Singapura untuk mengadopsi "moratorium formal” terhadap eksekusi negara atas pelanggaran terkait narkoba.

"Menerapkan hukuman mati untuk pelanggaran narkoba tidak sesuai dengan norma dan standar internasional,” katanya.

Keluarga sebelumnya ajukan permohonan grasi

Keluarga Tangaraju sebelumnya telah mengirim surat kepada presiden Singapura untuk meminta grasi dan pengadilan ulang. Dan misi lokal Uni Eropa dan negara-negara anggotanya juga telah menyerukan agar dia tidak diberikan hukuman mati.

Namun, Singapura melanjutkan eksekusi matinya pada Maret 2022 setelah jeda selama lebih dari dua tahun. Eksekusi mati terhadap Tangaraju pun menjadi eksekusi pertama negara itu dalam enam bulan.

Sebelas eksekusi lainnya telah dilakukan tahun lalu, dengan semua yang dieksekusi dinyatakan bersalah atas pelanggaran narkoba.

Banyak negara tetangga Singapura yang sejatinya tidak memiliki hukuman mati atau setidaknya tengah meninjau kembali hukuman mati di negaranya. Seperti halnya Malaysia, pada awal bulan ini telah meloloskan reformasi hukum untuk mengakhiri hukuman mati wajib.

Banyak kelompok HAM yang mendesak Singapura untuk melakukan penghapusan hukuman mati.

gtp/ha (AFP, Reuters)