1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Sisi Gelap Bisnis Umrah

3 Oktober 2017

Setiap tahun bisnis Umrah mencatat perputaran dana senilai 12 trilyun Rupiah. Dengan pengawasan seadanya, tidak heran jika bisnis menggiurkan itu ikut mendatangkan biro wisata nakal yang menipu konsumen.

https://p.dw.com/p/2l9ZO
Indonesien Sonnenfinsternis Muslime beim Gebet
Foto: picture-alliance/dpa/B. Indahono

Debu skandal First Travel belum juga mengendap, kini sudah muncul kasus penipuan serupa di Jakarta, Riau dan bahkan Cilegon. Faktanya delik penipuan dengan modus agen perjalanan Umrah belakangan mulai marak bermunculan. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengaku hingga Juli silam pihaknya sudah menerima 22 ribu pengaduan.

Pengaduan yang ditampung YLKI kebanyakan serupa, yakni keberangkatan yang selalu ditunda. "Bahkan ada yang menyampaikan kalau akan diberangkatkan dengan travel lain, tapi setelah kami konfirmasi, travel lain tidak akan memberangkatkan," ujar Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi kepada Liputan6.

Lantaran sifatnya yang mudah, terjangkau dan tidak dibatasi, perjalanan Umrah menjadi lahan basah yang dilirik agen perjalanan wisata. Betapa tidak, saat ini sebanyak 2,9 juta penduduk Indonesia masih masuk daftar tunggu yang berkisar antara 10 hingga 20 tahun. Sebagian yang ingin mencicipi kenikmatan ibadah di dua kota suci umat Muslim, Mekkah dan Madinah, harus memilih jalur Umrah.

Kementerian Agama mengakui sebanyak 818.000 jemaah asal Indonesia melakukan ibadah Umrah di Arab Saudi 2016 silam. Jumlahnya diyakini akan berlipatganda menyusul kelonggaran visa Umrah yang ditawarkan pemerintah Arab Saudi. Tidak heran jika perputaran dana Umrah ditengarai bisa melebihi angka 12 trilyun Rupiah per tahun.

Celakanya pertumbuhan pesat bisnis Umrah tidak dibarengi dengan kewaspadaan pemerintah. "Mandulnya pengawasan Kementerian Agama secara keseluruhan," menjadi bumerang buat jemaah, kata Tulus kepada Katadata. Menurutnya Kemenag hanya melakukan pengawasaan saat pemberizan izin. Tapi pemerintah malah absen memantau bagaimana agen perjalanan beroperasi.

Akibatnya semakin banyak jemaah Umrah yang ditelantarkan. Kementerian Agama berdalih pihaknya kekurangan SDM untuk melakukan pengawasan menyeluruh. Namun YLKI menilai pemerintah "tidak memiliki alasan karena kalau mengeluarkan izin sebanyak itu pengawasan harus kuat. Jangan izin jor-joran tapi pengawasan mandul dan tidak bisa mengawasi biro umrah yg menipu konsumen," kata Tulus kepada Katadata.

Menyusul skandal penipuan First Travel, Komisi VIII DPR kini menggodok Undang-undang baru tentang penyelenggaraan Umrah. Kepada media Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid menjelaskan UU 13/2008 tentang Ibadah Haji tidak menjelaskan rinci aturan penyelenggaraan Umrah. Sebab itu regulasi yang baru akan mengatur mekanisme pengawasan dan pemberian sanksi kepada biro perjalanan gelap.

Namun Sodik juga mengakui aturan penyelenggaraan Umrah tidak mudah. "Soal umrah akan terus menjadi rumit, karena ada motivasi agama."

rzn/yf (Katadata, Kompas, Antara, Tirto)