1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sisi Gelap Pengungsi Arab di Eropa

12 Januari 2016

Krisis pengungsi yang membekap Eropa juga membawa "bentrok kebudayaan" seputar isu perempuan. Pasca insiden di Köln, kota-kota lain juga mengeluhkan kasus serupa. Pelakunya kebanyakan berasal dari negara Arab Maghrib

https://p.dw.com/p/1Hbo2
Köln Hauptbahnhof Vorplatz
Foto: picture-alliance/dpa/O. Berg

Köln tidak hanya satu-satunya yang dirundung kasus pelecehan seksual massal. Masih ada Hamburg, Stuttgart, München, Kairo dan yang belakangan ketahuan, juga Stockholm. Kepolisian Swedia kini tengah mendapat hujan kritik lantaran dinilai mendiamkan kasus pelecehan seksual massal di pentas musik Stockholm tahun 2014 silam.

Pelakunya, sebanyak 40 orang asal Afghanistan, gagal ditangkap lantaran jumlah massa yang terlalu banyak. Insiden yang terjadi sejak 2014 itu tidak pernah dipublikasikan, kecuali setelah sebuah media lokal melakukan riset pasca peristiwa di Köln. "Kami harusnya memang memublikasikan informasinya," ujar seorang jurubicara kepolisian Swedia.

Apa yang terjadi di negeri Skandinavia itu serupa dengan di Jerman: Perempuan muda yang ingin berpesta tiba-tiba mendapati dirinya dikerubungi sekelompok laki-laki berparas timur tengah alias Arab. Tubuhnya digerayangi. Martabatnya dilecehkan.

Dari semua pelaku cuma segelintir yang ditangkap dan hampir tidak ada yang diadili.

Pengungsi Afrika Utara

Krisis pengungsi yang sedang membekap Eropa juga membawa sisi gelap yang perlahan mulai menyentuh kesadaran publik. Serupa Swedia, kepolisian Jerman juga awalnya ragu mempublikasikan skema pelaku yang kebanyakan berasal dari Afrika Utara.

Dari 19 pelaku insiden di Köln yang diperiksa polisi, sembilan di antaranya berstatus ilegal. Sepuluh merupakan pencari suaka dan sembilan di antaranya terdaftar sejak September tahun lalu. Kebanyakan, kata polisi, berasal dari Maroko.

Infografik ARD-Deutschlandtrend vom 7.1.2016 Ereignisse in Köln ENG
Jajak pendapat soal sikap penduduk Jerman terhadap kerumunan massa pasca insiden pelecehan seksual di Köln.

Terutama pengungsi asal Afrika Utara kini mendapat sorotam tajam publik. Menurut statistik kepolisian, 40 persen pengungsi asal Afrika Utara melakukan tindak kriminal di tahun pertama berada di Jerman. Jumlahnya mencapai 2000 delik kriminal di tahun 2015 saja.

Diakui atau tidak Jerman sedang mengalami "bentrokan kebudayaan," tulis harian Irlandia The Independent, Suara serupa dicetuskan bekas Menteri Urusan Perempuan Jerman, Kristina Schröder tentang "dominasi lelaki di dalam tradisi Muslim yang melegitimasi kekerasan.".

Pelecehan Seksual Sebagai Jalan Keluar

Mingguan politik Cicero mengupas paradigma seksual dalam kebudayaan Arab yang dinilai mengizinkan "kepemilikan" laki-laki atas perempuan. Media Jerman itu mengutip statistik bahwa 83 persen perempuan Mesir pernah mengalami pelecehan seksual, 46% di antaranya bahkan mengalami pelecehan setiap hari.

Köln bukan yang pertama. Lapangan Tahrir di Kairo juga pernah menjadi saksi bisu pelecehan seksual massal saat demonstrasi besar-besaran menentang diktatur Housni Mubarrak beberapa tahun silam. Saat itu jurnalis AS, Lara Logan, diperkosa di depan publik.

"We should not exploit fears"

Sangking lumrahnya, media-media Mesir lalu mencetuskan istilah "Taharush Ginsy" atau pemerkosaan massal yang telah menjadi "kanker sosial" dan kini dikhawatirkan ikut dibawa ke Eropa.

Seperti juga di banyak negara lain, "kemiskinan" adalah salah satu faktor utama yang menggerakkan pelaku, tutur Said Sadiq, Profesor Sosiologi di University of America di Kairo.
"Pelecehan seksual terhadap perempuan tak dikenal adalah satu-satunya peluang buat mereka untuk memuaskan hasrat seksualnya," ujarnya.

rzn/as (afp,dpa,rtr,cicero,independent,guardian)