1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia

Hendra Pasuhuk26 Desember 2014

Setelah bencana tsunami 2004, Indonesia dan Jerman bekerjasama membangun sistem peringatan dini. Proyek itu menghabiskan dana lebih 7 juta Euro dan dinyatakan rampung Maret 2014.

https://p.dw.com/p/1EAMc
Tsunami Frühwarnsystem Pazifischer Ozean Boje
Foto: AP

Setelah bencana tsunami 2004, Jerman dan Indonesia melakukan kerjasama untuk membangun sistem peringatan dini tsunami. Setelah hampir sepuluh tahun dan menghabiskan dana 7 juta Euro lebih, proyek itu dinyatakan selesai Maret 2014.

Pusat penelitian geofisika GFZ di Potsdam menerangkan, sistem peringatan dini yang dibangun Jerman dan Indonesia sudah memasang sekitar 300 sensor tektonik di sepanjang daerah pantai. Sistem itu bisa mendeteksi gempa di dasar laut dan memberi peringatan tsunami dalam waktu lima menit.

Kerjasama Indonesia-Jerman sudah digagas setahun setelah tsunami, dan awalnya dikenal sebagai sebagai GITEWS (German-Indonesia Tsunami Early Warning System). Teknologinya adalah sumbangan Jerman dalam rangka pembangunan kembali pasca tsunami 2004.

Pusat peringatan dini ini kemudian dikembangkan menjadi InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) dan sekarang beroperasi selama 24 jam dengan 170 pegawai.

Koordinasi Peringatan Dini Tsunami

Indonesia, Australia dan India sekarang berkoordinasi membentuk sistem peringatan dini tsunami bagi 28 negara di Samudera Hindia. Sistem ini juga dikenal sebagai "Indian Ocean Tsunami Warning and Mitigation System" (IOTWS).

Bilder aus Aceh Indonesien 5 Jahre nach Tsunami Flash-Galerie
Dr. Horst Letz, ahli GFZ Potsdam di pusat peringatan dini tsunami BMKG, JakartaFoto: DW/Robina

Sejak 2011, IOTWS meregistrasi lebih dari 2000 gempa kuat di kawasan itu. Beberapa gempa berkekuatan di atas 7 skala Richter, kondisi yang dianggap sangat berpotensi menyebabkan tsunami.

Sekalipun sistem peringatan dini sudah menggunakan teknologi canggih, tetap ada masalah serius, yaitu evakuasi penduduk lokal dalam situasi bencana. Ahli penanganan bencana dari Badan Kerjasama Internasional Jerman GIZ (Gesellschaft für internationale Zusammenarbeit), Harald Spahn mengatakan, masih banyak kendala yang dihadapi.

Setiap kawasan yang terancam tsunami harus menyusun rencana evakuasinya sendiri. Kemudian rencana evakuasi itu harus diperkenalkan kepada masyarakat. Tetapi ketika terjadi gempa di Sumatra tahun 2012 misalnya, masyarakat di Aceh dan Padang ternyata tidak mengikuti rencana evakuasi.

Mereka seharusnya lari mencari perlindungan di tempat-tempat khusus yang sudah ditentukan, begitu ada peringatan tsunami. Tetapi yang terjadi adalah, mereka lari berserabutan tanpa arah.

"Banyak yang waktu itu ingin lari menggunakan motor dan mobil, dan akhirnya malah terjebak macet di kawasan berbahaya", kata Harald Spahn yang beberapa kali memimpin latihan simulasi evakuasi di Indonesia. Beruntung, tsunami yang terjadi ketika itu tidak besar.

Pelatihan dan peningkatan kapasitas

Setelah perangkat teknis sistem peringatan dini tsunami terpasang, proyek kerjasama Indonesia-Jerman itu lalu dipusatkan pada pelatihan dan pendidikan personal. Peringatan bahaya tsunami sekarang bisa sampai ke instansi terkait dalam waktu empat sampai lima menit. Tapi yang terpenting adalah, kesigapan pejabat lokal dan penduduk untuk bereaksi dalam waktu singkat.

"Yang pasti, dalam beberapa tahun ke depan, program ini harus fokus pada upaya penyebaran informasi" dari instansi terkait kepada masyarakat luas dalam situasi bencana, kata Harald Spahn. Ia mengakui, kesadaran masyarakat terhadap ancaman tsunami sekarang sudah makin tinggi.

Kondisi geologis di Indonesia membuat banyak kawasan pantai, terutama di Sumatra, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, rentan terkena tsunami. GFZ di Potsdam menerangkan, sistem peringatan dini tidak bisa mencegah jatuhnya korban. Namun jika berfungsi dengan baik, sistem ini bisa meminimalisir jumlah korban bencana alam.

hp/ml (dpa, afp)