1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Skeptis Masalah Iklim

16 April 2012

Siapa yang bertanggungjawab atas perubahan iklim? Para ilmuwan dan orang-orang skeptis lainnya bertikai soal pemanasan global dan penyebabnya.

https://p.dw.com/p/14ecU
ARCHIV - Ein Windrad dreht sich vor den Kühltürmen des Kraftwerkes der Vattenfall-Kraftwerke Europe AG im brandenburgischen Jänschwalde (Archivfoto vom 08.12.2006). Ein weltweit beachteter UN-Klimareport, Spitzenthema beim EU- und beim G8-Gipfel, Diskussionspunkt bei den Vereinten Nationen in New York und Friedensnobelpreis - höher kann ein Thema in der Weltpolitik kaum steigen. Der Klimawandel stand in diesem Jahr so weit oben auf der politischen Agenda wie nie zuvor. Foto: Patrick Pleul +++(c) dpa - Bildfunk+++
Foto: picture-alliance/ZB

Januari tahun ini, 16 ilmuwan menyatakan pendapat mereka lewat harian AS Wall Street Journal, bahwa tidak ada argumen ilmiah yang mendasari tuntutan untuk mengambil tindakan segera bagi pencegahan perubahan iklim. Di Jerman saja, di mana orang-orang yang skeptis tidak memiliki andil besar dalam politik jika dibanding dengan AS, perdebatan muncul akibat diterbitkannya sebuah buku dengan judul "Die kalte Sonne" (matahari dingin).

Disebabkan Manusia?

Penulisnya, Fritz Vahrenholt dan Sebastian Lüning berpendapat, manusia bukan penyebab utama pemanasan bumi. Pemanasan yang disebabkan manusia bahkan kurang dari separuh pemanasan bumi selama ini. Penyebab utama perubahan iklim adalah aktivitas dan medan magnet matahari, yang berubah-ubah dalam siklus tertentu. Karena matahari memasuki siklus dingin, tidak perlu khawatir bencana akan terjadi.

###ACHTUNG NICHT FÜR CMS-FLASHGALERIEN### Typische Landschaft, Schmelzendes Treibeis
Es yang lumer dan mengapung di lautFoto: picture alliance/chromorange

Sementara perkataan seperti itu mendominasi kepala berita beberapa bulan terakhir, berbagai institus penelitian terkenal mempublikasikan indikasi-indikasi berikutnya tentang pemanasan global yang diakibatkan manusia. Institut Max Planck di bidang meteorologi bersama Pusat Prediksi Iklim Jerman memperkenalkan model perhitungan terbaru yang memperingatkan, tanpa pengurangan drastis emisi CO2 yang dilakukan segera, pemanasan bumi tidak akan dapat dibatasi 2°C. Februari lalu, lima institut penelitian di Perancis juga memberikan prognose yang membenarkan perhitungan itu.

Dari Mana Asal Data?

Pengetahuan yang diperoleh para peneliti iklim berdasar pada pengukuran yang berjalan tanpa henti, dan pengamatan yang dilakukan di bumi, di dalam air, di atmosfer bumi dan lewat satelit di luar angkasa. Data-data itu kemudian ditempatkan dalam program komputer yang rumit, yang pada akhirnya menghasilkan simulasi skenario iklim di masa depan. Model-model ini ditambah dan disesuaikan lagi berdasarkan pengetahuan yang semakin banyak dan perkembangan iklim di masa lalu. Misalnya berdasarkan lapisan batu-batuan dan pengeboran es para peneliti menelaah suhu di masa tertentu, juga keadaan atmosfir di masa itu.

Der Klimaforscher Peter Lemke, aufgenommen am 19.04.2007 bei der Aufzeichnung der ZDF-Sendung "Nachtstudio" in Berlin. Prof. Dr. Peter Lemke ist Leiter der Arbeitsgruppe Klimaforschung am Alfred-Wegener-Institut für Polar- und Meeresforschung in Bremerhaven. Er forscht selbst aktiv in den Polargebieten der Erde und befasst sich mit dem Thema des globalen Klimawandels. Lemke sagt, dass der CO2-Anteil in 250 Jahren so angestiegen ist, wie sonst zuvor in 100.000 Jahren. Foto: Karlheinz Schindler +++(c) dpa - Report+++
Pakar iklim profesor Peter LemkeFoto: picture-alliance/dpa

Data-data dari sekitar 36.000 stasiun cuaca membuktikan, suhu tanah dan laut meningkat rata-rata 0,8°C sejak 1900. Dasawarsa antara tahun 2000 hingga 2009 adalah dasawarsa paling panas sejak dimulainya pencatatan suhu. Tahun 1998, 2005 dan 2010 suhu bumi sama panasnya dan mencapai rekor tertinggi sejak pengukuran suhu. Pengkritik, di antaranya 16 ilmuwan AS yang menyatakan pendapat di Wall Street Journal, dan penulis buku "Die kalte Sonne" menginterpretasikan fakta, bahwa selama ini tidak ada tahun yang lebih panas dari tahun 1998, sebagai bukti, bahwa bumi tidak semakin panas.

Peter Lemke, kepala Ilmu Iklim pada Institut Alfred Wegener (AWI) yang juga ikut menulis laporan terakhir Dewan Iklim Dunia memperingatkan bahaya penarikan kesimpulan seperti ini. "Jika orang ingin mengetahui tren iklim, orang membutuhkan data dari sedikitnya 30 tahun," demikian Lemke. Pemanasan bumi tidak meningkat secara teratur setiap tahunnya, ditambahkan Lemke. Perubahan secara regional dan fenomena alam seperti angin topan El Nino atau osilasi di Atlantik Utara dapat menimbulkan kesan, pemanasan tidak terjadi. Tatapi jika orang memperhatikan kurva menyeluruh, tren jelas dapat dilihat.

CO2 atau Penyebab Alamiah?

Pakar iklim seperti Peter Lemke melihat kaitan langsung antara meningkatnya suhu bumi dengan bertambahnya kadar karbondioksida di udara dalam 200 tahun terakhir. "78% dari peningkatan CO2 berasal dari pembakaran sumber energi dari fosil, seperti batu bara, minyak bumi dan gas. 22% lainnya diakibatkan perubahan penggunaan lahan," diterangkan Lemke.

Symbolbild Dürre / Trockenheit / Hunger / Klimawandel (Foto: dapd) // eingestellt von wa
Gambar simbol kekeringanFoto: dapd

Orang yang skeptis terhadap pendapat ini mempertanyakan kaitannya. Vahrenholt dan Lüning menulis dalam buku mereka, "Kami tidak beranggapan bahwa CO2 tidak memiliki pengaruh sama sekali terhadap iklim saat ini. Tetapi kami dapat menunjukkan, bahwa sedikitnya separuh pemanasan global dalam 40 tahun terakhir diakibatkan matahari serta osilasi di laut-laut dunia. CO2 dapat menjadi penyebab utama paruh lainnya pemanasan bumi. Tetapi kemungkinan lebih kecil dari separuhnya."

Di lain pihak, Peter Lemke dari AWI tidak menampik, bahwa matahari memegang peranan penting dalam masalah iklim. Namun aktivitas matahari tidak cukup untuk menjelaskan perubahan aktual dalam iklim. "Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menunjukkan jelas, bahwa perubahan pada matahari hanya menyebabkan sekitar 5% perubahan suhu bumi," demikian Lemke.

Lobi Perusahaan Energi

"Masalah iklim menyangkut masalah uang dalam jumlah besar," demikian kesimpulan yang ditarik Professor William D. Nordhaus, profesor di bidang ekonomi pada universitas Yale, dalam artikelnya yang berjudul 'Why the Global Warming Skeptics are Wrong' (mengapa pengkritik pemanasan bumi salah), dalam New York Review of Books.

Nordrhein-Westfalen/ ARCHIV: ARCHIV: Das Logo des Energielieferanten RWE steht vor der Unternehmenszentrale von RWE in Essen (Foto vom 22 (Foto vom 22.06.11).06.11). RWE praesentiert am Dienstag (06.03.12) die Zahlen der aktuellen Bilanz. (zu dapd-Text) Foto: Frank Augstein/dapd
Kantor pusat perusahaan energi raksasa RWEFoto: AP

"Yang terkait adalah perusahaan-perusahaan, industri dan orang-orang tertentu, yang khawatir kepentingan ekonominya dirugikan akibat langkah-langkah perlindungan iklim," demikian Nordhaus. Ia terutama mengkritik industri minyak. Nordhaus bahkan membandingkan kritik terhadap ilmu iklim dengan kampanye industri tembakau, yang berusaha meyakinkan konsumen serta pemerintah, bahwa tidak ada bukti ilmiah mengenai dampak merokok yang merusak tubuh.

Kedua penulis buku asal Jerman, Vahrenholt dan Lüning, juga mempunyai hubungan dengan perusahaan energi. Fritz Vahrenholt adalah kepala RWE-Innogy, sebuah anak perusahaan raksasa RWE, yang bergerak di bidang energi. Penulis kedua, Sebastian Lüning, bekerja untuk perusahaan minyak dan gas RWE-Dea.

Hanya untuk Sebabkan Panik?

"Orang yang skeptis akan dampak iklim" demikian sebutan Profesor Otmar Edenhofer bagi mereka yang ragu, bahwa perubahan iklim bisa menyebabkan bencana. Edenhoher adalah kepala bidang ekonomi pada institut untuk penelitian dampak iklim di Potsdam, Jerman. Sebaliknya mereka menekankan sisi positif perubahan iklim, misalnya pembukaan tanah di wilayah yang suhunya selalu di bawah 0°C di Rusia dan Kanada, bagi pertanian. Contoh lain, semakin mudahnya jalan menuju sumber minyak dan gas di Arktik. Sebaliknya, bahaya pembentukan padang pasir atau meningkatnya kekeringan dan banjir tidak mereka hiraukan

Schmelzende Menschen aus Eis stehen waehrend einer Kunstaktion des WWF gegen den Klimawandel am Mittwoch, 2. September, 2009 auf dem Gendarmenmarkt in Berlin. Rund eintausend Eisfiguren der brasilianischen Kuenstlerin Nele Azevedo schmolzen und zerfielen auf der Freitreppe des Konzerthauses innerhalb von 30 Minuten. Sie dienen als eindringliches Symbol fuer die Bedrohung durch den Klimawandel fuer Mensch und Natur. (AP Photo/Maya Hitij) --- Small ice figures are seen on the stairs of Gendarmenmarkt in Berlin, Germany, Wednesday, Sept. 2, 2009, as part of an art project by World Wide Fund for Nature. Around one thousand ice figures by Brasilian artist Nele Azevedo were melting within 30 minutes symbolizing the effect of global warming. (AP Photo/Maya Hitij)
Patung manusia dari es yang mulai lumer. Ditampilkan dalam aksi seni WWF terhadap perubahan iklim (02/09/2009)Foto: AP

Padahal hasil penelitian terakhir Institut untuk Penelitian Dampak Iklim (PIK) di Potsdam menunjukkan "kaitan erat" antara bertambahnya curah hujan dan gelombang suhu tinggi dengan "pemanasan global yang disebabkan manusia". Oleh sebab itu, para ilmuwan di Potsdam memperingatkan, untuk tidak mengabaikan skenario situasi terburuk.

Banyak wilayah di dunia merasakan dampak perubahan iklim. Para peneliti iklim yang handal, antara lain dari PIK dan AWI, menyetujui pendapat itu. Mereka yakin, waktu hanya sedikit untuk membalik tren saat ini serta menghentikan perubahan iklim, maksimal beberapa dasawarsa. Tetapi ilmuwan tidak dapat meyakinkan orang yang ragu akan perubahan iklim, dengan pengetahuan mereka. Karena pengkritik perubahan iklim merasa memiliki dasar-dasar kuat untuk menolak. Namun mereka yang melolak perubahan iklim sampai sekarang tidak dapat memberikan bukti ilmiah bagi teori mereka.

Irene Quaile/Marjory Linardy

Editor: Agus Setiawan