1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Staf Khusus Presiden, Dukung Pemuda Atau Bagi-bagi Posisi?

26 November 2019

Langkah Presiden Joko Widodo yang baru saja mengangkat sejumlah staf khusus kembali dipertanyakan. Cita-cita menciptakan birokrasi ramping kini dibayangi dugaan pembagian posisi di lingkaran inti kekuasaan.

https://p.dw.com/p/3Tfsx
Indonesia Jakarta - Expertenteam von Präsident Joko Widodo - Belva Devara - CEO Ruangguru
Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden

Kamis (21/11) lalu, Presiden Jokowi dalam cuitannya di media sosial Twitter memperkenalkan tujuh orang anak muda kepada publik sebagai staf khususnya. Presiden menulis bahwa para pemuda ini berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda dan akan menjadi temannya berdiskusi dan mencari cara yang out of the box. 

Namun Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Aditya Perdana, ragu apakah langkah Jokowi ini dapat lebih memuluskan dan meringkas birokrasi. Hal ini mengingat kebanyakan dari generasi muda yang baru saja diangkat tidak memiliki pengalaman bekerja di lingkaran inti pemerintahan.

"Itu yang saya agak ragu. Dalam banyak hal mereka sudah punya perusahaan, CEO. Meski usianya muda, mereka orang kreatif yang jalurnya sudah tinggi, pengalaman lumayan. Namun kita pertanyakan juga, kenapa dengan pengalaman seperti itu (mereka) diajak masuk ke inti pemerintahan? Bisa jadi mereka nantinya akan jadi belajar dari nol juga, terutama tentang birokrasi pemerintahan yang sangat rumit dan kompleks," ujar Aditya dalam wawancara dengan DW Indonesia, Senin (25/11).

Ia mengatakan memang ada keinginan dari Jokowi untuk memberikan kesempatan kepada para anak muda untuk berpolitik di lingkungan eksekutif. Para pemuda ini pun diambil karena mereka mengerti seputar dunia usaha dan bisnis. Namun Aditya tidak begitu yakin bahwa para staf khusus ini akan bisa membantu merumuskan kebijakan yang mengerti kebutuhan orang banyak.

"Saya punya pandangan bahwa mungkin mereka punya sense of business dan usaha. Tapi sebagai orang yang mengerti banyak kebutuhan masyarakat, ya gak juga... Saya sendiri belum merasa optimis bahwa mereka bisa membantu presiden secara optimal juga jadi kita harus lihat kemampuan mereka," ujar Aditya.

Baca juga: Seakan Begitu Mudah Merebut Suara Generasi Milenial

Seperti apa transparansinya?

Lebih lanjut Aditya juga menambahkan bahwa publik tidak dapat mengetahui seperti apa saja saran yang sudah disampaikan dan apakah hasilnya dapat secara optimal membantu terciptanya kebijakan yang berpihak kepada publik.

"Itu 'kan yang bisa nilai presiden sendiri yang tahu. Presiden harus bisa mengatakan kepada publik apa saja yang sudah dilakukan oleh staf khusus itu, karena dalam beberapa hal staf khusus itu hanya akan menyuplai informasi terkait jejaring mereka kepada presiden." 

Presiden Jokowi sebelumnya mengumumkah tujuh staf khusus dengan latar belakang beragam seperti pendiri usaha rintisan, aktivis disabilitas, santri hingga yang berasal dari keluarga konglomerat seperti pendiri Creativepreneur, Putri Tanjung, yang merupakan anak Chairul Tanjung. Para staf ini berusia antara 23 hingga 36 tahun.

Privilege dan kalangan elit

Sejumlah pihak menyayangkan sikap Jokowi yang mengambil beberapa penasihat dari kalangan keluarga elit nan berpunya. Kebijakan yang mereka ambil pun dikhawatirkan tidak akan mencerminkan kepentingan orang banyak.

Namun apakah lantas ini berarti bahwa orang-orang yang lahir dari keluarga berada ini otomatis tidak memiliki kompetensi dan dianggap miring karena telah 'mendompleng' nama keluarga? Wahyudi Akmaliyah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan belum tentu.

Menurut peneliti muda di Pusat Penelitian Kebudayaan dan Masyarakat LIPI ini, privilege atau hak istimewa yang didapatkan oleh kalangan berada sehingga mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan harus disikapi dengan dua cara.

"Pertama, meskipun bagian dari kelompok orang berada dan lingkaran elit, apakah rekam jejak sebelumnya sudah kuat dalam membangun prestasi, baik individu maupun komunitasnya dengant terlibat dalam sejumlah aktivitas sosial dan kemanusiaan di Indonesia?" ujar Wahyudi kepada DW Indonesia pada Selasa (26/11).

Wahyudi kemudian mencontohkan sosok Gus Dur dan Buya Syafi'i, yang masing-masing lahir dari kalangan kelompok elit di daerah asalnya. Gus Dur merupakan anak ulama besar dan cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama, Hasyim Asy'ari. Sementara Buya Syafi'i berasal dari Sumatera Utara di mana sang ayah dulu adalah pedagang terkenal yang bisa mencukupi keluarganya saat itu.

"Keistimewaan yang dimiliki oleh keduanya ini yang justru dimanfaatkan dalam membela hak-hak yang selama ini tertindas dan dipinggirkan dengan membela mereka," tegas Wahyudi.

Sikap kedua dalam menghadapi kaum ber-privilege ini adalah yang biasanya muncul terhadap mereka yang mencapai sesuatu dengan memakai koneksi orang tua.

"Anak-anak muda seperti ini biasanya tidak bisa berbicara banyak untuk kepentingan dan representasi suara publik. Meskipun dari mereka yang diangkat ada beberapa yang memang berjuang dari bawah dan harus diberikan tempat," ujarnya.

Birokrasi kian gemuk

Niat Jokowi untuk melibatkan kaum muda di pemerintahan rupanya memang tidak main-main. Selain para staf khusus ini, Jokowi sebelumnya juga sudah menunjuk sejumlah wakil menteri (wamen). Jumlahnya pun berkali lipat dari jumlah wamen di pemerintahan era sebelumnya. Jika pada era Jokowi-JK hanya ada tiga wamen, kini total jumlah wamen mencapai 12 orang.

Juru Bicara Presiden Fajroel Rahman mengatakan ini karena Jokowi ingin bekerja lebih cepat sehingga butuh dibantu banyak orang. Fajroel juga membantah bahwa ini adalah upaya Jokowi bagi-bagi kursi.

Namun Aditya dari Puskapol UI mengatakan ini adalah langkah kontraproduktif dari niatan awal untuk meringkaskan birokrasi.

"Itu juga kita sayangkan. Satu sisi ketika sudah dilantik, Jokowi menyampaikan ada keinginan untuk melakukan perampingan birokrasi, eselonisasi akan dibuat ringkas. Tapi kenyataannya, masuknya banyak wamen dan staf khusus ini menunjukkan betapa tambunnya lingkaran inti presiden," ujar Aditya.

"Dugaannya memang lebih banyak ke akomodasi politik. Kelompok pendukung Jokowi siapa pun itu yang belum dapat kesempatan di dalam inti pemerintahan yang dimasukkan ke dalam posisi-posisi seperti itu."

Aditya juga mengatakan akan ada anggaran lebih yang terserap berkaitan dengan kebijakan ini. Ia mencontohkan bahwa misalnya di atas kertas, staf khusus presiden menerima gaji Rp 50 juta per bulan. "Tapi riilnya pasti lebih dari itu. Karena yang biasanya terjadi adalah kalau sudah masuk di lingkaran inti presiden baik staf khusus, jubir atau wamen nanti akan diberi tambahan jadi biasanya lebih besar," ujar Aditya.

Pada 25 Oktober 2019, Presiden Jokowi memperkenalkan dan melantik 12 orang wakil menteri. Dari 12 orang wakil menteri yang dilantik, 5 orang di antaranya berasal dari parpol, 5 orang dari kalangan profesional, 1 dari tim sukses, dan 1 dari relawan Projo. Salah satu dari wamen adalah putri pemilik MNC Group, Hary Tanoesoedibjo, yaitu Angela Tanoesoedibjo dilantik Jokowi sebagai Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

ae/gtp (Kompas, idntimes.com, katadata)