1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sungai Citarum, Tiga Puluh Tahun Memancing Utang

10 November 2017

Utang-utang luar negeri Indonesia atas nama Sungai Citarum bukan sedikit. Namun sejauh mana keberhasilannya? Apa dengan tambahan lagi utang baru, Sungai Citarum akan membaik?

https://p.dw.com/p/2mUMf
Fluss Citarum in Indonesien
Foto: Adek Berry/AFP/Getty Images

Sungai Citarum mungkin memegang rekor terlama dengan biaya sangat besar dalam proses menaklukan banjirnya dan membersihkannya dari limbah industri dan limbah rumah tangga. Program perbaikannya sudah berlangsung lebih dari tiga puluh tahun. Utang-utang luar negeri Indonesia atas nama Sungai Citarum juga sangat besar.

Sebagai contoh, dari satu program utang pada 2008 saja, yaitu Integrated Citarum Water Resource Management Investment Program (ICWRMIP), uang utang yang mengalir ke Citarum ditargetkan 500 juta dolar AS, atau sekitar Rp 6 triliun. Utang-utang Indonesia sebelumnya sejak tahun 1980-an juga mencapai ratusan miliar rupiah.

Masih seksi untuk digunakan sebagai pemancing 

Sekarang pemerintah masih seksi untuk digunakan sebagai pemancing akan mencoba memancing utang lagi dengan menggunakan nama Sungai Citarum. Dalam kunjungannya ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan, meminta kepada IMF dan Bank Dunia untuk memberikan pinjaman lagi kepada Indonesia agar bisa membersihkan Sungai Citarum. Belum diketahui berapa uang yang ingin dipinjam Indonesia kepada IMF dan Bank Dunia. Tapi kabar ini semakin menguatkan dugaan saya, nama Citarum masih seksi untuk digunakan sebagai pemancing utang.

Penulis: Zaky Yamani
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Tahun 2009 dan 2014, saya pernah menulis berita-berita mendalam, tentang program utang luar negeri untuk Citarum yang diberi nama ICWRMIP itu. Utang itu diberikan oleh Asian Development Bank dan perjanjian utangnya ditandatangani di Manila, Filipina pada Desember 2008.

Ironis, di hari yang sama program utang itu ditandatangani, di daerah Baleendah dan Dayeuhkolot, di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, ribuan warga sedang mengungsi di sekolah-sekolah dan ruang-ruang publik, karena Sungai Citarum meluap dan merendam ribuan rumah di kawasan itu. Saat itu, bahkan mungkin sampai sekarang, tak banyak warga yang tahu nasib mereka digunakan sebagai alasan untuk memancing utang luar negeri.

Sejauh mana keberhasilan program ICWRMIP—dan juga program-program lainnya—belum diketahui secara objektif, karena kenyataannya sampai hari ini Sungai Citarum masih disiksa dengan ribuan ton limbah industri dan dan limbah rumah tangga setiap hari. 

Dengan kondisi Sungai Citarum yang tidak juga membaik, ditambah utang yang sudah triliunan rupiah, lalu kenapa Indonesia masih juga akan berutang dengan mengatasnamakan Citarum? Dikutip dari Katadata, Menteri Luhut menyampaikan, dengan utang baru nanti akan digunakan untuk membangun instalasi-instalasi pengolahan limbah (IPAL) di sepanjang sungai tersebut.

Apakah usulan itu sudah dilakukan dengan melakukan kajian menyeluruh terhadap persoalan Sungai Citarum? Saya tidak yakin.

Bukan saja persoalan fisik  sungai

Persoalan Sungai Citarum  bukan saja persoalan fisik sungainya saja. Persoalan Sungai Citarum berkaitan dengan erat pula dengan pertambahan jumlah penduduk, pendidikan yang rendah, penghasilan yang rendah—dua hal itu berkaitan dengan perilaku warga sekitar—juga berkaitan erat dengan situasi kawasan industri dari wilayah hulu sampai wilayah hilir.

Di kawasan hulunya saja tak kurang dari 1.500 pabrik yang beroperasi dan membuang limbah secara langsung dan tak langsung ke Sungai Citarum. Saat ini penduduk di Daerah Aliran Sungai Citarum sekitar 15 juta jiwa. Sungai itu melewati 11 kabupaten/kota di Jawa Barat dan menopang 20% total produksi industri Indonesia dan 60% produksi tekstil nasional.

Alih-alih mengontrol manusia dan industri, berbagai proyek pemerintah lebih banyak ditujukan langsung ke sungai itu. Mulai dari pengerukan, penyodetan, dan berbagai manipulasi teknik untuk membuat sungai itu kembali ramah. Dana yang dihabiskan sudah ratusan miliar rupiah, tetapi sampai hari ini Citarum masih menderita. Beban Citarum bukan saja erosi, sedimentasi, limbah, dan sampah. Sungai itu pun kini terbebani utang luar negeri Indonesia.

Apakah dengan tambahan lagi utang baru, seperti yang disampaikan Menteri Luhut Panjaitan, Sungai Citarum akan membaik? Saya meragukannya.

Selama pemerintah tidak tegas kepada perusahaan-perusahaan pembuang limbah, selama korupsi masih berjalan (yang membuat para pembuang limbah bisa lepas dari tanggung jawab mereka dengan membayar sejumlah uang), selama masalah kemiskinan dan pendidikan tidak terselesaikan dengan baik (yang membuat warga terus merambah kawasan hulu Sungai Citarum demi mendapatkan penghasilan), selama tidak pernah ada transparansi atas pelaksanaan program-program perbaikan, persoalan Sungai Citarum tidak akan selesai.

Rekayasa-rekayasa teknik mungkin akan membantu memperbaiki kondisi Sungai Citarum. Tetapi semua itu akan percuma jika perilaku manusia-manusianya tidak diperbaiki, karena manusialah yang menjadi penyebab utama persoalan Sungai Citarum. Sungai itu semakin bermasalah ketika semakin banyak manusia yang tinggal di sekitar kawasannya.

Apakah butuh utang luar negeri untuk memperbaiki manusia-manusia yang terkait dengan Sungai Citarum? Tidak perlu. Meningkatkan kualitas seluruh penduduk Indonesia—termasuk para pengusaha dan warga di sekitar Sungai Citarum—adalah kewajiban pemerintah. Anggaran untuk itu sudah masuk di dalam APBN, tinggal pemerintahnya saja yang serius dan mencoba mencapai yang terbaik dengan anggaran yang ada, agar kualitas manusia Indonesia membaik, yang pada akhirnya akan membuat kondisi Sungai Citarum membaik pula.

Meminjam uang untuk melakukan rekayasa teknik tanpa mendidik manusianya, adalah wujud kemalasan. Jangan lagi menggunakan nama Citarum untuk utang yang tak jelas hasilnya.

Penulis: Zaky Yamani

Jurnalis dan novelis. Laporannya tentang Sungai Citarum terbit di dalam buku kumpulan reportasenya Komedi Sepahit Kopi (2010) dan di majalah National Geographic Indonesia edisi April 2014

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.