1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Surat Dari Praha

5 Februari 2016

Terusir dari tanah air. Terhambat tak boleh pulang. Kisah ini marak di zaman Orde Baru. Reformasi telah lama bergulir, kita harusnya bisa menarik pelajaran agar sejarah lama tidak terulang. Blog Andibachtiar Yusuf.

https://p.dw.com/p/1HqFR
Symbolbild Tschechien vor den Wahlen
Foto: Zharastudio - Fotolia.com

Sebuah kilas balik ke tahun 2006. Hari itu 17 Agustus di Kedutaan Besar Indonesia di Hongaria di Budapest, saya melihat sosok tua itu dari kejauhan. Saya ingat benar ia terlihat sedang berbicara cukup tegas pada orang-orang yang lebih muda di hadapannya. Walau berbicara dengan volume yang tidak tinggi, terlihat urat leher bapak itu agak menegang ,sementara mereka yang mendengarkannya terlihat lebih santai dan kadang tersenyum.

Itulah pertama kali saya mengenal lelaki yang lalu saya panggil sebagai Pak Permadi. Seseorang yang dirampas kebangsaannya oleh negara yang sungguh ia cintai. “Pada hari itu mereka meminta saya untuk menanda tangani pernyataan mendukung Suharto, saya menolak karena Sukarno adalah ayah saya!!” tegas lelaki yang saat itu sudah berusia sekitar 76 tahun.

Parlamentsgebäude in Budapest
Budapest yang indah, tapi bukan tanah air dalam rekaan ideal Pak Permadi.Foto: picture-alliance/ZB

Pak Permadi datang ke Budapest sebagai seorang mahasiswa jurusan engineering. Ia datang tahun 1959 dan kita tahu, sentimen anti komunis kala itu masih amat kencang. Hongaria saat itu adalah blok timur yang komunis. Dia tak pernah bisa kembali ke negerinya sampai tahun 2001. Keluarganya datang menyusul ke kota yang indah itu di sekitar tahun 1972 dengan cara yang cukup sulit “Saya ingat saat itu naik becak dari stasiun Gambir langsung ke bandara di Kemayoran, kata ibu supaya tak terlacak,” jelas putra keduanya yang sangat saya ingat wajahnya namun terlupa namanya.

Si bapak, istri dan kedua putranya tinggal di Budapest selama berpuluh tahun. Menjadi warga negeri itu bertahun kemudian, fasih berbahasa Magyar tentu saja dan mampu melakukan apa yang mungkin tak mungkin bisa mereka lakukan di kampung halaman yaitu….menjadi atlet nasional bulutangkis! Tapi baginya Indonesia adalah tanah airnya. Pak Permadi selalu berkata ingin dimakamkan di negeri tersebut, di kampungnya yang tak jauh dari Candi Mendut.

Indonesien Andibachtiar Yusuf
Andibachtiar YusufFoto: Andibachtiar Yusuf

Ia begitu senang saat paham saya beribukan Minangkabau dan ayah Jawa “Itu adalah cita-cita Bung Karno! Indonesia harus menjadi sebuah bangsa sendiri, bukan lagi etnis yang terpencar,” Layaknya banyak orang tua, ia senang bercerita dan saya sangat menikmati apapun yang ia ceritakan. Mulai dari apa yang terjadi di fase setelah proklamasi sampai nasionalisasi di tahun 1955 dan segala hal yang ia lihat dengan mata kepala sendiri dan rasakan dengan inderanya….bukan sekedar baca dari buku-buku sejarah nasional yang selalu kita perdebatkan kebenarannya itu.

Hari-hari di Budapest itu, saya menikmati cerita-cerita tentang sebuah bangsa baru bernama Indonesia dari mulutnya. Bangsa yang saat ia tinggalkan, belumlah jadi seperti saat ini yang semakin berani mengklaim sebagai bangsa yang bisa menghargai perbedaan—padahal beda pilihan presiden aja bisa berantem—itu.

Rekaan dalam film

Kegetiran yang sama bisa saya rasakan pada diri Pak Jaya, tokoh rekaan Angga Sasongko dalam karya terbarunya Surat Dari Praha. Seorang klayaban dengan nasib paling tragis yang pernah saya tahu. Menjadi tukang pel sebuah gedung opera, tak mampu bergerak maju dari cintanya yang tertinggal di tanah air, kehilangan kebangsaannya dan kehilangan masa muda yang ceria.

Jaya menjadi begitu dekat dengan saya, karena apa yang ia rasakan sangat nyata bagi saya. Praha di Ceko adalah analog dengan Budapest di Hongaria. Seolah memutar ruang waktu melihat Pak Permadi yang tersenyum senang mendengarkan musik barat berlirik Jawa dari Jogja Hip Hop Foundation sembari ia bergumam “Seperti ini ya sekarang bangsa saya, modern”. Sementara Jaya selalu mendengarkan kembali Sabda Rindu atau lagu-lagu dari masa mudanya yang dilantunkan oleh Sam Samiun yang ia sebut sebagai “Nat King Cole nya Indonesia,”

Jaya yang kesepian bertemu Larasati yang baginya adalah potongan kenangan masa mudanya di tanah air. Dengan prilaku yang sama seperti yang saya lihat pada Pak Permadi dengan musik atau segala potongan Indonesia masa kini yang semakin berubah…..dan bisa saja tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan pada masa lalu, saat pertama kali meninggalkannya.

Andibachtiar Yusuf, Filmmaker & Traveller

@andibachtiar