1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Survey: Warga Jabotabek Tidak Toleran

30 November 2010

Warga Jakarta dan sekitarnya cenderung bersikap tidak toleran menyangkut masalah keagamaan. Demikian hasil survey lembaga SETARA Institute mengenai toleransi sosial.

https://p.dw.com/p/QM8s
Gambar simbol toleransi beragamaFoto: DW/dpa-picturealliance

Sikap intoleran warga Jakarta dan sekitarnya itu tercermin dalam pendapat mereka menyangkut sejumlah isu. Dalam soal pendirian rumah ibadah, hampir setengah warga Jakarta tidak setuju pembangunan tempat ibadah agama lain di lingkungan mereka. Manajer Program SETARA Institute, Ismail Ashani, menyebut hal ini sebagai indikator menguatnya intoleransi di masyarakat urban Jakarta.

Menyangkut Ahmadiyah, lebih dari 40 persen responden menganggap pengikut ajaran tersebut sesat. Bahkan 45 persen berpandangan sebaiknya Ahmadiyah dibubarkan.

84 persen warga menolak perkawinan beda agama, dan bersikap keras terhadap anggota keluarga yang memutuskan pindah agama lain. Temuan lainnya, 44 persen warga menyatakan tidak suka bertetangga dengan orang yang berbeda agama serta 45 persen responden tidak suka memasuki perkumpulan yang berbeda agama.

Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Intitute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan, "Ini menunjukan kecenderungan pengkotak - kotakan, atau apa yang disebut sebagai segregasi social ini semakin meningkat di masyarakat. Kalau tanpa ada intervensi dari pemerintah melalui pendidikan, kampanye yang lebih popular, kami kuatir dalam beberapa tahun eskalasi intoleransi akan semakin meningkat. Jangan lupa sekarang anak anak sekolah dari kecil sudah mulai dikotakan misalnya dengan masuk TK Islam, TK Kristen TK Budha. Demikian juga sudah muncul perumahan perumahan Islami, perumahan perumahan Kristen."

Survey SETARA mengenai toleransi warga Jakarta dan sekitarnya tahun 2010 itu juga menunjukkan, masyarakat cenderung menyerahkan kepercayaan kepada pemerintah dan pemuka agama untuk mengatasi konflik keagamaan. Sikap tersebut dianggap mengkhawatirkan, karena dalam banyak kasus, pemerintah maupun pemuka agama justru seringkali menjadi pemicu konflik, sebagaimana diungkapkan Sekretaris Konferensi Wali Gereja Indonesia KWI, Benny Susetyo.

Meski temuan ini tergolong mengkhawatirkan, namun SETARA masih cukup optimis karena sebagian besar masyarakat menolak praktek kekerasan dalam menyelesaikan konflik keagamaan.

Beberapa waktu terakhir, di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi muncul sejumlah kasus intoleransi beragama berupa penyegelan hingga penyerbuan tempat ibadah. Peristiwa-peristiwa ini menjadi cermin menurunnya sikap toleran masyarakat dalam menghadapi perbedaan keyakinan.

Zaki Amrullah

Editor: Andy Budiman