1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Susunan Kabinet Transisi Diumumkan

17 Januari 2011

PM Tunisia Ghannouchi mengumumkan susunan pemerintahan kesatuan nasional yang baru. Oposisi dilibatkan, namun kabinet berisi menteri dari rezim Ben Ali. Tahanan politik akan dibebaskan.

https://p.dw.com/p/zyw1
Situasi di Tunis, Tunisia, mulai normal, Senin (17/01). Seorang pria tampak baru membeli roti.
Situasi di Tunis, Tunisia, mulai normal, Senin (17/01). Seorang pria tampak baru membeli roti.Foto: AP

Perdana Menteri Tunisia Mohamed Ghannouchi mengumumkan susunan pemerintahan kesatuan nasional yang baru. Menteri pertahanan, dalam negeri, keuangan dan luar negeri dari kabinet presiden yang digulingkan Zine al Abidin Ben Ali tetap menduduki posisi mereka.

Pendiri partai demokratik progresif yang menentang Ben Ali, Ahmed Nejib Chebbi, ditunjuk menjadi menteri pembangunan regional. Tokoh oposisi lainnya, seperti Ahmed Ibrahim dan Mustafa Ben Jaafar juga tergabung dalam kabinet baru. Pemerintahan transisi ini yang akan mempersiapkan pemilihan presiden dan parlemen, demikian Ghannouchi menambahkan.

Menurut konstitusi Tunisia, pemilu baru harus digelar dalam waktu dua bulan.

Susunan Kabinet Transisi Dikritik Rakyat

Keputusan Ghannouchi mempertahankan anggota kabinet Ben Ali mendapat reaksi pedas rakyat Tunisia. Selim Belhassen, seorang aktivis dari jajaran oposisi juga tidak puas. Menurutnya, kabinet ini tidak hanya mengenai jabatan politik dan pemilihan, melainkan juga demokrasi.

Tokoh oposisi Nejib Chebbi dilibatkan dalam kabinet transisi Tunisia sebagai salah seorang menteri.
Tokoh oposisi Nejib Chebbi dilibatkan dalam kabinet transisi Tunisia sebagai salah seorang menteri.Foto: picture alliance/dpa

"Di Tunisia, rezim lama diusir dari revolusi dan tetap bisa terlibat dalam pemerintahan. Ini tidak masuk akal. Ini seakan pihak yang kalah dalam perang menentukan kemana sang pemenang harus melangkah. Tentu kita tidak bisa melewatinya sendirian, tetapi jika perdana menteri mengatakan, Tunisia akan membuka babak baru dalam sejarahnya, maka saya berharap bahwa rakyat Tunisia membaca dengan cermat setiap halaman pada babak tersebut."

Sebelumnya, ribuan demonstran turun ke jalanan dan menuntut agar partai Ben Ali meletakkan kekuasaan. Beberapa bahkan menyerukan bahwa mereka tidak akan menerima anggota pemerintahan Ben Ali dalam koalisi pemerintahan yang baru.

Pasukan keamanan harus menggunakan meriam air, gas air mata, dan tembakan ke udara untuk membubarkan aksi protes yang berakhir dengan damai. Di lain pihak, banyak warga yang berharap kabinet baru bisa membawa ketenangan. Mereka juga siap untuk berkompromi, walau pun bayang-bayang Ben Ali belum hilang sepenuhnya.

"Kami disini masih hidup dalam keadaan darurat. Tetapi kami harus mulai melangkah maju. Memang masih ada orang lama yang terlibat dalam pemerintahan, tetapi harus bagaimana lagi? Kita tida bisa langsung mengganti semua personil. Kita butuh orang yang punya pengalaman dan untuk itu kita terpaksa menelan pil pahit," kata seorang warga.

Ghannouchi: Tahanan Politik akan Dibebaskan

PM Tunisia Mohamed Ghannouchi.
PM Tunisia Mohamed Ghannouchi.Foto: AP

Selain mengumumkan kabinet baru, Perdana Menteri Mohamed Ghannouchi juga mengatakan pemerintahannya akan membebaskan semua tahanan politik dan tokoh dengan kekayaan berlebihan atau diduga terlibat dalam korupsi akan diinvestigasi.

Kemudian dalam konferensi pers, menteri dalam negeri Ahmed Friaa menyebutkan bahwa 70 orang tewas dalam aksi demonstrasi yang berhasil menjatuhkan presiden lama Ben Ali. Ini adalah angka resmi pertama yang dikeluarkan pemerintah Tunisia semenjak kerusuhan dimulai pertengahan Desember tahun lalu. Selain itu, 94 orang lainnya juga dikatakan mengalami luka-luka dalam demonstrasi. Antara lain karena serangan balik dari pihak kepolisian yang menggunakan peluru tajam.

Sementara kerugian ekonomi yang diderita Tunisia akibat kekacauan tersebut mencapai 1,6 milyar Euro. Kerusuhan menyebabkan kerusakan properti dan lumpuhnya bisnis pariwisata negara itu.

Vidi Legowo-Zipperer/rtr/dpa/afp

Editor: Luky Setyarini