1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tayangan Langsung Serangan di Afghanistan Akan Dilarang

4 Maret 2010

Pemerintah Afghanistan tidak ingin wartawan memberitakan secara langsung tentang serangan yang tengah terjadi.

https://p.dw.com/p/MJeg
Salah satu serangan bom bunuh diri di AfghanistanFoto: AP

Dinas rahasia Afghanistan NDS memanggil beberapa wartawan dan mengancam dengan hukuman dan penjara, jika mereka berani memberitakan secara langsung tentang sebuah serangan. Saat ancaman tersebut diketahui oleh pihak luas, terjadi kemarahan diantara para wartawan. Juru bicara presiden Wahid Omar berusaha menenangkan mereka. "Di masa lalu, siaran langsung dari lokasi kejadian, dimanfaatkan oleh musuh kami untuk mengatur serangan berikutnya dan memberikan arahan kepada anggotanya. Ini ingin kami hindari melalui mekanisme yang baru."

Hanya 4 hari selisih waktu antara pengumuman ini dan serangan teror besar terakhir di Kabul. Jumat (26/02) lalu, serangan bom bunuh diri terjadi di pusat ibukota Afghanistan. Setidaknya 17 orang tewas. Aksi tembak-menembak antara kelompok pemberontak dan pasukan keamanan terjadi selama berjam-jam. Beberapa stasiun televisi meliputnya secara langsung. Terutama stasiun televisi swasta Afghanistan TOLO TV menampilkan kematian, ketakutan, dan keputusasaan. "Kami selalu dituduh tidak mampu melindungi wartawan. Mekanisme baru kami meliputi dua hal : Kami tidak ingin pihak musuh bisa memberikan komando berdasarkan siaran langsung. Dan kami ingin melindungi pasukan keamanan, warga sipil dan juga wartawan."

Bagaimana bentuk mekanisme baru itu tidak ingin dirinci lebih lanjut oleh juru bicara presiden Wahid Omar. Dan ini membuat Abdul Hameed Mubarez skeptis. Ia adalah pimpinan serikat wartawan nasional di Afghanistan. "Taliban tidak akan terbantu sama sekali jika kami memberitakan serangan secara langsung. Sebaliknya. Tayangan di televisi menunjukkan teror dan keinginan mereka untuk menghancurkan semua. Menurut saya, siaran langsung ini juga menunjukkan kelemahan pasukan keamanan kami. Karena itu, pemerintah ingin melarang pemberitaan tersebut." Hameed Mubarez juga menolak tuduhan, bahwa media membahayakan nyawa polisi dan warga sipil. Baginya, yang penting adalah menampilkan kebenaran untuk melindungi warga Afghanistan. "Larangan yang ingin ditetapkan oleh pemerintah, melanggar konstitusi kami. Ini hanya berguna bagi dinas rahasia dan kementrian dalam negeri. Seperti usaha sensor dan kediktatoran."

Juru bicara kelompok Taliban telah mengkritik larangan tersebut sebagai pelanggaran terhadap kebebasan pers. Padahal di masa rezim Taliban tidak ada kebebasan pers sama sekali. Hingga jatuhnya rezim November 2001, mendengarkan musik pun dilarang. Kini di Afghansitan ada sekitar 300 harian, lebih dari belasan stasiun televisi dan ratusan radio swasta. Tetapi pihak penguasa sepertinya berusaha menguasai media dengan menekan kebebasan mereka. Ini dilakukan oleh pemerintah Afghanistan dan pasukan keamanannya. Begitu juga para bandar narkoba, pemuka agama dan kelompok Taliban. Pasukan internasional pun merintangi pekerjaan media. Dalam daftar peringkat aktual dari wartawan lintas batas, Afghanistan berada di peringkat 149 dari 176 negara yang berada dalam pemeriksaan.

Sandra Petersmann / Vidi Legowo-Zipperer

Editor : Ziphora Robina