1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tekanan Terhadap Jurnalis di Balkan Meningkat

Ana Bogavac3 Mei 2013

Secara resmi sudah dua puluh tahun dikibarkan kebebasan pers di Eropa Tenggara. Namun pada praktiknya, banyak media terkungkung pengaruh politik dan ekonomi. Krisis finansial memperburuk keadaan tersebut.

https://p.dw.com/p/18Qas
Foto: picture alliance / Stefan Rupp

„Di Eropa Tenggara, partai-partai politik menekan kerja wartawan,“ ungkap reporter Bosnia, Elvira Jukic-Mujikic, yang mengelola jaringan sosial jurnalistik investigatif  di Balkan. Dalam perbincangan dengan dengan DW, ia mengritisi, di negara asalnya, Bosnia-Herzegovina, para penguasalah yang memutuskan siapa yang boleh memimpin perusahaan televisi terpenting.

Dalam sehari bisa hingga 20 kali kepala redaksi dan direktur utama di negara itu menerima telefon dari politisi yang menyampaikan berita apa saja yang harus ditampilkan dan apa yang tak boleh disiarkan. Hal ini juga terjadi di Serbia, yang menempati ranking ke-63 indeks kebebasan pers tahun 2013 yang dirilis organisasi Repoter Tanpa Batas.  Sementara Bosnia berada di posisi  ke-68 dalam indeks yang sama. Bulgaria yang sebelumnya berada di urutan 80 terjungkal ke posisi 87.

NO FLASH Medien in Bosnien
Harian BosniaFoto: AP

Di Makedonia, pengaruh politisi di media begitu terang-terangan, ujar wartawan lepas asal Skopje, Maria Sevrieva. Para tokoh politik jadi pemilik hampir semua media di negeri itu. Karena Makedonia ingin diterima sebagai anggota Uni Eropa, maka hanya lewat tekanan Uni Eropa terjadi perubahan. Namun meski sudah ada pemilik media   yang bukan politisi, pengaruh  politisi masih sedemikian kuat.

Kehilangan pengiklan gara-gara berita kritis

Di Albania -- yang menduduki posisi ke -102 indeks kebebasan pers— beberapa pemilik perusahaan kontruksi juga merupakan pemilik media dan mendukung politisi tertentu. Wartawan Albania, Fatjon Kodra menjelaskan: “Dengan demikian mereka mendapat izin membangun konstruksi atau keuntungan lainnya.“

Studentenradio in Bitola Mazedonien
Sebuah radio di MakedoniaFoto: DW

Jika mereka bukan pemilik media, mereka juga dapat mempengaruhi para pebisnis di Eropa Tenggara. Richard Meares tahu betul tentang itu. Wartawan lepas itu merupakan pengajar dalam pelatihan  wartawan Balkan yang banyak mewartakan berita korupsi.  Salah satu dari para wartawan itu menceritakan kepadanya,  sebuah berita yang berisi kritikan pada perusahaan tertentu dapat berujung pada ditariknya iklan di media. “Para wartawan yang saya temui di Balkan mengungkapkan bahwa banyak berita mereka yang diblokir oleh atasannya, supaya tak kehilangan pengiklan,“ papar Meares.

Tekanan pihak luar bukan hal asing bagi para wartawan Balkan.  Sewaktu diktator komunis berkuasa, mereka  dapat menentukan berita mana yang layak tayang. Kini hal itu bergeser. Tekanan lebih banyak datang dari pelaku bisnis ketimbang politisi. “Parahnya lagi, di banyak negara hubungan keduanya saling berkawin-mawin, karena para politisi punya kekuasaan sama besarnya dengan pebisnis. Oleh sebab itu sangat sulit membedakannya,“ tambah Meares.

Zeitungen kaufen in Tirana Albanien
Kios majalah dan koran di Tirana, AlbaniaFoto: DW / Cama

Sensor sendiri dan tekanan keluarga

Goran Milic memandang dari sudut pandang berbeda. Pria 43 tahun itu bekerja sebagai pemimpin program berita Al Jazeera Balkan.  Menurutnya, para jurnalis juga melakukan sensor sendiri. Mereka tahu apa yang disukai publik dan sebaliknya. Belum lagi adanya tekanan dari keluarga. “Orang tua yang anaknya wartawan, kerap berpesan, bahwa apa yang ditulis sang wartawan bisa membahayakan keluarga.“ Maka terjadilah sensor yang dilakukan wartawan itu sendiri secara sukarela.

Banyak wartawan Eropa Tenggara berharap, dengan bergabungnya ke Uni Eropa situasi media di negara-negara mereka dapat menjadi lebih baik. Di Rumania, setelah bergabung dengan Uni Eropa, kebebasan pers menjadi lebih baik. Namun itu hanya berlangsung sesaat. Editor harian ekonomi terkemuka "Ziarul financiar", Roxana Pricop menyebutkan, “Situasinya kini malah lebih buruk dibandingkan sebelum bergabung dengan Uni Eropa.“ Hal itu terjadi bukan semata karena kesalahan politisi, namun juga pengaruh krisis finansial, tambahnya. Karena takut kehilangan pekerjaan, banyak wartawan yang enggan membahas tema sensitif di media tempat mereka bekerja.