1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Teknologi Baru Bisa Reduksi Emisi CO2

3 Desember 2014

Emisi CO2 harus diturunkan drastis agar kenaikan temperatur global dipertahankan pada kisaran 2 derajat Celsius. Beragam teknik kini dikembangkan untuk mencapai target ini.

https://p.dw.com/p/1Dy4a
Foto: picture-alliance/dpa

Emisi gas rumah kaca global terus meningkat, walau ada kesepakatan untuk menguranginya. Dewan iklim PBB IPCC bahkan melontarkan skenario terburuk, temperatur global akan naik rata-rata 4 derajat Celsius pada akhir abad ini. Bahkan jika emisi CO2 terus meningkat, pada tahun 2200 suhu bumi rata-rata naik hingga 7 derajat Celsius.

Dampak dari pemanasan global itu, lapisan es abadi di kutub akan mencair, muka air laut akan naik beberapa meter, negara-negara kepulauan kecil akan musnah tenggelam sementara suhu di kawasan Eropa akan mirip kawasan gurun di Libya saat ini. Demikian skenario horor yang nyaris mendekati realita, yang dipaparkan pada KTT Iklim di ibukota Peru, Lima, yang digelar hingga 12/12/14.

Teknologi energi terbarukan

IPCC menyebut, cara tercepat untuk mengurangi emisi CO2 adalah secepatnya beralih ke energi terbarukan. Dengan dibarengi penerapan kebijakan efisiensi energi, yang risikonya rendah dan relatif murah.

Teknik yang lebih canggih dan relatif mahal adalah penyimpanan atau injeksi CO2 ke dalam tanah dengan cara dipres tekanan tinggi. Karbondioksida disimpan dalam lapisan kedap yang sebelumnya merupakan cebakan minyak atau gas bumi, yang isinya sudah disedot habis. Sejauh ini ujicoba sudah dilakukan perusahaan perminyakan di Norwegia. Kendala dari teknik ini adalah faktor ongkos mahal, yang harus dikompensasi dengan harga "carbon trading" yang mencapai 40 hingga 50 Euro per ton CO2.

Sementara teknologi ramah lingkungan lainnya adalah mengikat CO2 dari atmosfir untuk pembentukan humus dan lapisan tanah subur di kawasan hutan. Tapi prosesnya amat lambat dan perlu waktu ratusan tahun. Untuk mempercepat hal itu, bisa dilakukan proses karbonisasi hydrotermal, dimana dari sampah organik dan biomassa diproduksi arang yang kemudian dicampurkan pada tanah.

Celah aturan

Sementara itu, banyak negara yang berusaha memanfaatkan celah dalam aturan PBB mengenai penurunan emisi global. Misalnya dengan membangun proyek di luar negeri selaras program PBB, yang seolah ramah lingkungan. Proyek inisiatif PBB untuk membantu negara miskin mengatasi pemanasan global sejauh ini sudah mendapat janji dana pinjaman sekitar 30 milyar US Dollar dalam tiga tahun, separuhnya berasal dari Jepang.

Jepang membangun tiga proyek pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia senilai 1 milyar US Dollar, yakni Paiton, Cirebon dan Indramayu, yang diklaim berteknologi terbaru dan membakar batubara lebih efisien. Tapi jumlah emisi karbon dari pembangkit energi batu bara itu tetap dua kali lipat lebih tinggi dibanding pembangkit energi gas bumi. Dalam KTT di Lima, proyek ini mencuat sebagai salah satu contoh lemahnya pengawasan PBB terkait aturan pendanaan negara berkembang untuk mengatasi pemanasan global.

Jepang menyebut, tidak ada yang salah dalam proyek ini. Juga labelisasi sebagai pembangkit energi termal efisiensi tinggi sudah benar. Bahkan kementrian luar negeri di Tokyo mengklaim, dengan proyek itu Jepang telah memberikan kontribusi cukup besar bagi pengurangan emisi karbonsioksida global.

as/yf(rtr,ap,dpa)