1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Teringat Multatuli di Frankfurt

23 November 2016

Gagasan Multatuli dalam Max Havelaar berisi perlawanan terhadap korupsi, pembodohan, pemiskinan, dan kesewenangan. Begitu pula tulisan Pramoedya Ananta Toer. Seorang penulis menginspirasi 1000 pembaca. Opini Anton Kurnia

https://p.dw.com/p/2T3zS
Niederlande Eduard Douwes Dekker "Multatuli"
Foto: picture-alliance/akg-images

Oktober 2016 silam, di ujung musim gugur yang dingin, saya berkesempatan mengunjungi Pekan Buku Frankfurt yang masih dianggap sebagai pekan buku tertua dan terbesar di dunia. Para pemangku kepentingan dalam dunia perbukuan dari berbagai latar belakang profesi (penulis, penerbit, penyunting, penerjemah, kritikus, agen, pembaca) dan berbagai negara hadir di sana. Mereka yang berasal dari negara-negara maju berdiskusi terbuka dengan mereka yang berasal dari negeri-negeri bekas jajahan. Beraneka manusia dari beragam bangsa berbaur tanpa membedakan ras dan agama.

Tahun ini yang menjadi Tamu Kehormatan di Pekan Buku Frankfurt adalah Belanda dan Flanders (wilayah Belgia yang berbahasa Belanda). Saat mengunjungi stan Belanda seusai acara pembukaan, saya teringat salah satu pengarang mereka yang pernah saya baca karyanya, yakni Eduard Douwes Dekker (1820-1887) yang lebih dikenal dengan nama pena Multatuli. Dalam bahasa Latin, kata itu berarti "Yang Banyak Menderita”.

Penulis:  Anton Kurnia
Penulis: Anton KurniaFoto: privat

"De plicht van een mens is mens te zijn,” tulis Multatuli suatu kali. Artinya kurang lebih: tugas manusia adalah menjadi manusia. Lelaki Belanda mantan Asisten Residen di Lebak, Banten, pada masa Hindia Belanda itu memang seseorang yang memuliakan manusia melalui karya tulisnya. Dia dihormati banyak orang terutama karena novelnya, Max Havelaar (1860), yang mengisahkan penindasan dan ketidakadilan penguasa kolonial dan pribumi terhadap rakyat kecil di Lebak, Banten.

Salah satu pengagum terbesar Multatuli adalah Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), sastrawan terkemuka kita yang pernah diasingkan belasan tahun di Pulau Buru oleh rezim Orde Baru, tapi namanya gemilang di mata dunia dan berkali-kali dicalonkan sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra. Mengutip Pramoedya, "Seorang politikus yang tidak mengenal Multatuli praktis tidak mengenal arti humanisme, humanitas secara modern. Dan politikus yang tidak mengenal Multatuli bisa menjadi politikus kejam. Pertama, karena dia tidak kenal sejarah Indonesia. Kedua, karena dia tak mengenal peri kemanusiaan.”

Bagi Pramoedya, Multatuli amat layak kita hargai. Itu dia sampaikan antara lain dalam wawancara dengan Kees Snoek di buku Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir (2008). Menurut Pramoedya yang pernah menulis biografi Multatuli, tapi tak pernah diterbitkan karena naskah itu hilang saat dia ditangkap militer dan rumahnya dijarah massa pada 1965, pengarang Belanda itu adalah salah satu faktor penting dalam pembentukan kesadaran nasional para intelektual bangsa kita pada masa kebangkitan nasional di awal abad ke-20.

Pesan pengabdian untuk  rakyat

Pada masa itu, atas jasa politik etis, Multatuli dipelajari di HBS - setingkat SMA sekarang. Siapa yang tak mengenal Multatuli akan dianggap orang yang tertinggal. Mungkin dia "well educated, tapi tidak well cultured". Dampaknya, membaca Multatuli menyadarkan mereka bahwa mereka tengah dijajah oleh bangsa asing, bahwa mereka sesungguhnya punya tanah air, dan bahwa ada seorang Belanda yang justru menentang perlakuan tidak adil terhadap bangsanya itu. Maka, timbullah kesadaran sebagai bangsa yang terjajah dan ditindas. Kesadaran itu pada gilirannya melahirkan pergerakan yang berujung pada kemerdekaan.

Max Havelaar, novel Multatuli yang amat berpengaruh itu, masih relevan dibaca hingga kini meski telah berumur lebih dari satu setengah abad sejak kali pertama lahir. Saya sendiri untuk kali pertama membaca buku itu dalam terjemahan H.B. Jassin semasa SMA sekitar 25 tahun silam.

Saya kira, buku yang telah berkali-kali diterbitkan ulang edisi terjemahan bahasa Indonesianya oleh berbagai penerbit itu penting dibaca oleh para politikus kita agar memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk mengabdi kepada rakyat saat berkuasa, bukan malah menumpuk kekayaan dengan menghalalkan segala cara, termasuk dengan korupsi gila-gilaan dan bersekongkol dalam kejahatan tak ubahnya segerombolan pencuri. Ada sebagian yang bernasib sial dan telah masuk bui, banyak pula yang masih bebas berkeliaran menyalahgunakan kekuasaan.

Gagasan melawan korupsi, pembodohan, pemiskinan dan kesewenangan

Simaklah lirik berikut ini: Seratus pencuri membuat fraksi di tanahku ini/Sepuluh penipu, mereka bersatu di tanahku ini/ Dapatkah Anda membayangkan kini?

Kalimat-kalimat tajam itu adalah lirik yang ditulis mendiang Harry Roesli 38 tahun silam dalam lagu "Fraksi Pencuri” di album Jika Hari Tak Berangin sebelum dia bertolak ke Belanda untuk belajar musik di Rotterdam Conservatorium. Kata-kata musisi bengal yang juga aktivis itu terasa lugas, gamblang, dan menohok. Ironisnya, layaknya suara Multatuli dalam Max Havelaar, lirik yang diciptakan puluhan tahun lampau itu masih saja relevan dengan situasi kita sekarang.

Gagasan Multatuli dalam Max Havelaar berisi perlawanan terhadap korupsi, pembodohan, pemiskinan, dan kesewenang-wenangan. Begitu pula apa yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novel-novelnya, seperti tetralogi Pulau Buru, yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca yang juga dipamerkan di stan Indonesia di Pekan Buku Frankfurt tahun ini. Buku yang satu menginspirasi lahirnya buku-buku yang lain. Seorang penulis menginspirasi seribu pembaca.

Bagi kita kini, membaca dan memaknai buku-buku itu adalah bagian dari upaya lperlawanan terhadap pembodohan dan kesewenang-wenangan yang masih saja terjadi di tanah air kita hingga hari ini—baik itu atas nama kuasa politik, kuasa budaya, maupun kuasa agama.

Anton Kurnia, penulis dan pembaca, Direktur Penerbit Baca(ap/hp)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.