1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiAsia

Ketidakpastian Hukum Redupkan Bisnis Ganja di Thailand

Emmy Sasipornkarn
17 Desember 2022

Legalisasi ganja tak terkendali di Thailand menciptakan celah hukum yang dimanfaatkan pelaku usaha untuk berekspansi. Regulasi oleh pemerintah datang terlambat dan gagal memuaskan kritik.

https://p.dw.com/p/4L448
Pedagang ganja di Thailand
Pedagang ganja di ThailandFoto: Lauren DeCicca/Getty Images

Mulai 9 Juni silam, Thailand secara resmi mencabut mariyuana dari daftar tanaman terlarang. Dengan begitu, konsumsi ganja dalam bentuk minuman dan makanan akhirnya dilegalkan.

Pemerintah berharap legalisasi mariyuana akan mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian dan pariwisata. Namun begitu, parlemen dan pemerintah sejauh ini belum mampu menyepakati regulasi dan pengawasan terhadap sektor baru tersebut.

"Kami menolak legalisasi ganja tidak terkendali seperti yang sudah terjadi sejak Kementerian Kesehatan mencabut cannabis dari daftar narkotika, tanpa aturan penegakannya," kata pemimpin oposisi, Pita Limjaroenrat, saat pembacaan RUU kedua di parlemen, Rabu (14/12) silam.

Ketidakpastian itu diyakini akan berlanjut. Parlemen dipercaya tidak akan merampungkan pembahasan RUU sebelum pemilihan umum, pada 7 Mei 2023 mendatang.

Toko Ganja di Kanada Diserbu Pembeli

Ladang uang baru

Legalisasi ganja yang diikuti kembalinya wisatawan mancanegara paska pandemi mencuatkan bisnis mariyuana di Thailand. Ganja kini bisa dibeli dalam bentuk lintingan atau makanan, dengan beragam kualitas dan harga.

"Kami langsung melihat adanya peluang untuk membuka kedai ganja," kata Pump Chittira, pemilik The Budtender Ganja Dispensary di Pattaya.

Dengan 60 pelanggan harian, yang sebagian besar wisatawan, kedainya mencetak laba sebesar antara Rp. 20 juta hingga 45 juta. Tidak heran setelah hanya empat bulan, Pita sudah ingin berekspansi dengan membuka toko baru.

"Cabang kedua kami mudah-mudahan akan mulai beroperasi akhir tahun ini," katanya.

"Para turis sudah tidak sabar untuk membeli ganja setibanya mereka di bandara Bangkok, " kata Pink Kitlipaporn, seorang pedagang mariyuana di ibu kota. "Jadi kami menawarkan paket jasa penyambutan di terminal," imbuhnya. "Kami menghasilkan sekitar Rp. 220 juta per bulan."

Regulasi datang menyusul

Kritik berhamburan lantaran pemerintah dinilai lalai menyiapkan regulasi untuk mengawasi peredaran mariyuana di Thailand. Menyusul derasnya tekanan politik, Menteri Kesehatan, Anutin Charnvirakul, yang mengarsiteki legalisasi ganja, berulangkali menegaskan "legalisasi mariyuana tidak diniatkan untuk keperluan rekreasional."

Buntutnya sejak November lalu, konsumsi ganja di dalam ruang usaha dilarang dan ganja kini didaftarkan di bawah pengawasan dengan konsumsi terbatas.

Sejak itu, ganja tidak lagi bisa dibeli di mesin atau secara online. Penjualan di taman kota atau hotel-hotel juga ikut menghilang. "Larangan penjualan online datang mengejutkan," kata pemilik kedai Finding Rainbow keada DW, yang mengandalkan situs online untuk memasarkan produk cannabis.

Pemerintah juga melarang iklan komersil produk mariyuana dan membatasi penjualan kepada kelompok usia di bawah 20 tahun, dan ibu hamil atau menyusui.

Meski pembatasan konsumsi, pelaku usaha di Thailand tetap menilai bisnis ganja menguntungkan. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang mengenal celah antara aturan dan penegakan hukum.

Pemilik kedai ganja di Bangkok mengatakan kepada DW dia akan membayarkan "uang suap" untuk lolos dari larangan pemerintah.

Tapi meski celah yang terbuka, sebagian besar pelaku usaha tetap menginginkan kerangka hukum yang lebih pasti. "Kami bersedia taat hukum, apapun yang diputuskan," kata Pita Chittira.

"Tapi mengingat jumlah dana investasi yang sudah dikucurkan, saya ragu parlemen akan mencabut legalisasi."

rzn/hp