1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

030309 Tibet China Völkerrecht

17 Februari 2010

Menurut pemerintah Cina, Tibet merupakan bagian dari Cina sejak 700 tahun. Sedangkan Tibet tetap menyanggahnya dengan menyatakan mempunyai budaya, bahasa dan negara sendiri.

https://p.dw.com/p/M44n
Seorang warga Tibet di depan foto pemimpin komunis Cina, Mao ZedongFoto: AP

Karena Cina adalah anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan memiliki hak veto, pengubahan status Tibet secara yuridis di tingkat PBB hampir tidak mungkin. Namun alasan apa yang digunakan Cina dalam pernyataannya bahwa Tibet adalah bagian dari Cina? Ada tiga alasan, yaitu sejarah, pembebasan dan prestasi.

Kekuasaan Cina atas Tibet berawal dari masa kejayaan Mongolia. Di abad ke-13, sekitar 800 tahun lalu, tentara Mongolia berhasil menguasai Tibet. Namun bukan hanya Tibet yang dikuasainya. Daerah jajahan Mongolia mencapai hingga Polandia dan India. Sedangkan Cina saat itu hanya merupakan bagian kecil dari daerah kekuasaan Mongolia. Akan tetapi, karena sejarawan Cina mengkategorikan kejayaan Mongolia dalam dinasti Yuan, zaman Mongolia merupakan bagian dari sejarah Cina.

Perhatian Cina terhadap Tibet berkurang pada zaman dinasti Ming, namun bangkit lagi sekitar 500 tahun kemudian, di abad ke-18. Abad itu kaisar dinasti Qing menjadikan Tibet bagian dari kekuasaannya. Tetapi, pakar Asia Timur di Hamburg Oskar Weggel menjelaskan, bahwa kaisar dinasti Qing sebenarnya merupakan dinasti asing, "saya ingin menekankan, bahwa terutama bangsa Mongolia dan dinasti Qing bukan dinasti Cina, akan tetapi dinasti asing. Dan sampai sekarang hal itu juga disebutkan dalam sejarah Cina.“

Pada tahun 1911 dinasti Qing akhirnya digulingkan. Dalai Lama yang ke-13 saat itu menggunakan kesempatan tersebut dan tahun 1913 secara resmi menyatakan kemerdekaan Tibet. Sampai 1950 Tibet menjadi negara merdeka. Ini berdasarkan pandangan pakar hukum internasional Eckart Klein dari Universitas Potsdam.

Namun karena pemerintah Cina mengetahui bahwa sejarah semata bukan alasan kuat untuk membenarkan haknya atas Tibet, propaganda yang dilancarkan Cina mengalihkan perhatian ke sisi gelap Tibet. Yang menyatakan, militer Cina telah membebaskan Tibet dari pemerintahan feodal. Pakar Asia Timur Oskar Weggel mengutip sikap Cina, "kami, pemerintah Cina, membawa kalian ke peradaban. Kami yang mengeluarkan kalian dari zaman abad pertengahan dan memasukkan ke zaman abad ke-21. Hal ini kelihatan mulai dari sekolah serta perguruan tinggi dan tayangan televisi hingga pembuatan jalur kereta yang melewati dataran bersuhu permanen di bawah titik beku serta perjalanan perdananya Juli 2006. Apa lagi yang harus kami lakukan? Kami membawa kalian ke abad ke-21 dan kalian tidak ada rasa terima kasihnya.“

Sedangkan berdasarkan hukum internasional kualitas dan kuantitas saja dari apa yang diinvestasikan di kawasan lain tidak memainkan peranan penting dalam tuntutan hak atas kawasan tersebut.

Berdasarkan hukum internasional ada hal lain yang lebih relevan. Cina menyatakan bertanggungjawab atas semua kejadian di Tibet. Karena terikat pada standar hak asasi manusia, Cina wajib mematuhinya juga di Tibet. Jika kritik luar negeri menjadi lantang, pemerintah Cina tidak boleh menyebutnya sebagai mencampuri urusan dalam negeri. Siapapun yang menyepakati peraturan internasional, maka pihak tersebut harus menerapkannya jika ada pihak ketiga yang menuntutnya.

Matthias von Hein / Andriani Nangoy

Editor: Hendra Pasuhuk