1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiMyanmar

Tujuan Wisata Indah di Myanmar Menderita Karena Konflik

Jan Olson
17 Januari 2024

Resor wisata pantai Ngapali, yang dulu terkenal dan menarik banyak wisatawan internasional, kini sedang mengalami masa-masa sulit hampir tiga tahun sejak kudeta militer di Myanmar.

https://p.dw.com/p/4bJkC
Pantai Ngapali  di Myanmar
Pantai Ngapali yang sekarang sepi pengunjungFoto: Jan Olson

Dengan pasir putih sepanjang beberapa kilometer dan perairan biru kehijauan, Pantai Ngapali, di selatan negara bagian Rakhine, Myanmar, adalah surga tropis bagi wisatawan, setidaknya dulu. Tapi sekarang, hampir tiga tahun setelah kudeta militer dan berkobarnya perang saudara, situasi makin memburuk. Bulan Oktober lalu, sayap bersenjata gerakan kemerdekaan Rakhine, Tentara Arakan, melakukan serangan gabungan dengan dua kelompok etnis bersenjata lainnya. Sebagai tanggapan, militer Myanmar memutus akses jalan ke negara bagian Rakhine di selatan dan melarang kapal dan perahu meninggalkan teluk.

Ngapali adalah pusat pariwisata dan perikanan. Tapi sekarang, makanan menjadi langka dan persediaan bahan bakar semakin menipis. Pemadaman listrik menjadi kejadian sehari-hari di seluruh negeri.

"Kami tidak tahu kapan jalan akan dibuka kembali,” kata salah satu pemilik restoran. Dia mengatakan, penutupan bisa berlangsung berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. "Tanpa pelanggan, kami tidak tahu bagaimana kami dapat menghasilkan cukup uang untuk bertahan selama musim hujan,” lanjutnya.

Meskipun penerbangan ke bandara Thandwe di dekatnya Ngapali masih beroperasi, sebagian besar wisatawan internasional menjauh sejak kudeta. Wisatawan domestik lebih memilih melakukan perjalanan melalui jalan darat, yang berjarak sembilan jam berkendara dari Yangon di pantai barat Myanmar.

Lokasi favorit wisatawan dari Rusia

Wisatawan yang sering melakukan perjalanan ke sini biasanya berasal dari Rusia dan wisatawan domestik Myanmar. Selain Danau Inle dan kota kuno Bagan, Pantai Ngapali termasuk salah satu tujuan wisata utama Myanmar.

"Tempat ini tidak pernah penuh, tapi selalu sibuk,” kenang seorang turis Eropa yang datang kembali. Di sepanjang pantai ada bar-bar kecil, restoran-restoran, dan tempat-tempat pijat," katanya.

Banyak orang melihat situasi saat ini lesu seperti masa pandemi, ketika perdagangan dan pariwisata juga terhenti. Namun pada saat itu makanan dan bahan bakar masih tersedia, harga-harga stabil, dan masyarakat dapat mencari nafkah dengan menangkap ikan.

Sekarang, makanan apa pun yang tidak bisa diproduksi secara lokal harus didatangkan dengan pesawat. Akibatnya, harga-harga melonjak. Restoran dan toko tutup karena kekurangan persediaan atau kekurangan pelanggan. Jalanan sepi dari lalu lintas karena kelangkaan bahan bakar.

Kalau ini terus berlanjut sampai masa panen padi, tidak akan ada listrik yang dapat digunakan para pemanen. "Tidak ada makanan, tidak ada bahan bakar, tidak ada obat-obatan. Bagaimana mereka mengharapkan kami untuk bertahan hidup?" kata salah satu pemilik bisnis kepada DW,

Myanmar military junta faces attacks on multiple fronts

Tetap berharap situasi akan membaik

Di desa nelayan Jade Taw di ujung selatan Pantai Ngapali, kondisinya lebih menyedihkan. Di daratannya yang menjorok ke laut, di kedua sisi semenanjung ada seratusan atau lebih perahu nelayan yang dilarang meninggalkan pantai. Padahal bagian selatan negara bagian Rakhine adalah pengekspor ikan terbesar di kawasan ini, dengan 90% diekspor melalui jalan darat ke Yangun, lalu ke Thailand dan Cina.

Seorang nelayan muda menggambarkan bagaimana perahunya biasanya berangkat setiap sore dengan lima orang nelayan dan kembali di pagi hari dengan hasil tangkapan penuh. Sekarang, katanya, dia tidak punya pekerjaan lain selain tidur di kapal dan menunggu. Di desa, laki-laki memperbaiki jaring atau mengasah pisau, atau berbaring di tempat tidur gantung mereka di dalam gubuk rotan, sambil berharap larangan berlayar akan dicabut.

Penduduk desa kini mendapatkan sumbangan makanan dari biara-biara setempat atau melalui prakarsa sumbangan kolektif. Ada yang mencoba menangkap ikan di perairan dangkal dengan berjalan membawa jaring dan tombak, berharap bisa mendapat ikan dalam jumlah cukup untuk memberi makan keluarga.

Meski mengalami kesulitan, masih terlihat orang-orang bermain sepak takraw di antara pohon palem, atau duduk bersama sambil merokok tembakau. Beberapa orang berharap, setelah pasukan etnis merebut beberapa kawasan di wilayah utara, rezim militer akhirnya akan mengalami kekalahan. Meskipun tidak ada yang dapat mengatakan, berapa lama perang saudara ini masih akan berlangsung.

(hp/as)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!