1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tumbangnya Pohon Keluarga

4 Maret 2016

Isu Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender (LGBT) tak lepas dari kontroversi perkawinan sejenis. Blogger Mochamad Husni membagi pandangannya.

https://p.dw.com/p/1I5Kw
Symbolbild Familie Deutschland
Foto: picture-alliance/dpa/Jens Kalaene

Hasil pernikahan hetero saya dan istri sudah dikaruniai tiga orang anak. Karena aneka alasan medis, dokter membantu ketiga persalinan itu melalui operasi caesar. Proses kelahiran bayi tanpa perlu kontraksi ini atau proses pembuahan buatan alias bayi tabung makin terdengar lumrah di zaman saya berkeluarga. Berbeda dengan era orang tua atau kakek nenek saya dulu, meskipun melahirkan tujuh orang anak, seluruhnya lewat proses dan terlahir dengan cara “konvensional”: diawali dengan masuknya penis ke vagina, meluncurnya sel sperma ke indung telur, tumbuhnya jabang bayi selama 9 bulanan di rahim, lalu keluar melalui lubang vagina.

Begitulah pengetahuan dan teknologi. Kecerdasan otak manusia mampu mengatasi persoalan yang dihadapi peradaban. Termasuk dalam memberi solusi kepada pasangan keluarga perihal cara mereka memiliki anak. Setelah bayi tabung yang makin banyak diterapkan, baru-baru ini bahkan dunia kedokteran di Tiongkok mulai menampakkan keberhasilan membuat sperma buatan. Meski kabarnya masih di tingkat uji coba, ini bisa menjadi solusi bagi pernikahan antara laki-laki dan laki-laki atau pun perempuan dan perempuan, agar rumahtangganya tetap dilengkapi dengan kehadiran anak layaknya pernikahan hetero.

Blogger: Mochamad Husni
Foto: Husni Mochamad

Tantangannya

Meskipun ada kekhawatiran tentang terhentinya perkembanganbiakan manusia, tantangan yang lebih krusial bagi masa depan umat manusia atas pernikahan sesama jenis sebenarnya terkait dengan garis keturunan. Yang saya bayangkan, garis keturunan mereka kelak akan kacau balau. Tak ada lagi garis keturunan berdasarkan laki-laki, atau perempuan. Bukan hanya melenyapnya pola matrilineal atau patrilineal, pernikahan sesama jenis akan menumbangkan “pohon keluarga”. Selanjutnya, anak-anak hasil teknologi modern yang mereka klaim sebagai anak kandung mereka akan kesulitan mengurut silsilah kelahirannya. Itu berarti, mereka kesulitan mengetahui DNA (deoxyribose nucleid acid) siapa yang mengalir dalam tubuhnya.

Padahal, garis keturunan ini bukan sekadar kenangan indah tentang leluhur atau jejak genetik nenek moyang. Garis keturunan perlu diketahui, setidaknya, karena dari situlah manusia dimudahkan dalam mengatur warisan. Peninggalan-peninggalan seseorang semestinya turun kepada pewaris yang berhak, yaitu kepada mereka yang memiliki hubungan darah (kekerabatan), entah kepada anak, orang tua, atau orang-orang lain yang sedarah dengannya. Anak pasangan homoseksual atau lesbian, yang lahir dari proses inseminasi buatan tentu mempunyai separuh ikatan darah dengan orang tuanya.

Legalitas esensi berkeluarga?

Tidak kalah penting dari perkara waris-mewarisi, garis keturunan juga dibutuhkan karena ia menjadi panduan dalam menentukan seseorang yang “aman” untuk dinikahi. Sebab, semakin dekat hubungan darah antara dua orang yang menikah, risiko-risiko kesehatan pada keturunannya kian besar. Sudah diketahui umum bahwa munculnya gangguan represif langka yang bisa menyebabkan berbagai macam masalah seperti kebutaan, ketulian dan kondisi neodegeratif lainnya berpotensi muncul pada anak dari pernikahan yang orang tuanya memiliki kekerabatan yang dekat.

Setidaknya, begitu yang disebut dunia kedokteran mengingat masing-masing orang membawa salinan gen yang buruk dan tidak ada gen normal yang dapat menggantikannya. Kemungkinan seorang anak mendapatkan dua salinan gen yang merugikan akan semakin besar ketika orang tuanya merupakan saudara dekat.

Dengan dua kekhawatiran itu, konsep keluarga (family) pada pasangan sesama jenis juga perlu dipertanyakan. Bisakah pasangan mereka dan anak-anak mereka disebut keluarga? Dan, perlukah pasangan sesama jenis mencatatkan pernikahan mereka sesuai hukum negara?

Jika kita menjawab dua pertanyaan di atas secara positif, maka akar-akar yang menopang tegaknya Pohon Keluarga akan semakin goyah. Legalitas pernikahan sesama jenis tidak sejalan dengan salah satu esensi penting dari terbentuknya keluarga, yaitu: untuk menghasilkan anak dari darah daging mereka berdua.

Penulis: Mochamad Husni, seorang profesional blogger

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Silakan tulis komentar dan pendapat Anda atas artikel ini di forum diskusi.