1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tunisia Semakin Mantapkan Demokrasi

22 November 2011

Tiga partai besar di Tunisia, menyepakati pembagian jabatan puncak di berbagai kementrian pada pemerintahan transisi. Komposisinya harus disetujui oleh sidang majelis konstituante, yang mulai bertugas Selasa (22/11).

https://p.dw.com/p/13F5v
Workers prepare the assembly room Monday Nov. 21, 2011, at the former National Assembly building where Tunisia's new Constituent Assembly, elected in the first elections of the Arab Spring, will convene for its first meeting
Majelis Konstituente Tunisia siap menjalankan tugas.Foto: dapd

Bau busuk kediktatoran sudah terusir dari gedung parlemen di Tunis. Secepatnya di Tunisia akan bertiup sebuah angin baru demokrasi. Sebanyak 217 anggota baru parlemen transisi, yang dipilih oleh rakyat akan mulai bertugas. Mereka harus menyusun konstitusi baru serta menyiapkan pemilihan umum yang akan digelar tahun depan.

Setelah perundingan alot selama sebulan, ketiga partai pemenang pemilu 23 Oktober lalu, menyepakati komposisi pemerintahan transisi. Jabatan kepala pemerintahan koalisi diduduki oleh Hamadi Jebali, sekretaris jenderal partai Islam moderat, Ennahda. Sebagai presiden disepakati Moncef Marzouki dari Partai Kongress untuk Republik (CPR) yang berhaluan kiri-tengah. Sementara jabatan presiden majelis konstituante dipegang oleh Mustafa ben Jaafar dari Partai Ettakatol yang berhaluan kiri.

Komposisi pemerintahan transisi itu dipuji cukup bagus. Akan tetapi ahli filsafat Tunisia, Youssef Seddik menyatakan, ia kehilangan perdebatan menyangkut apa yang diharapkan Tunisia yang baru? Bagaimana istilah demokrasi, di masa depan diisi dengan program berbobot? Inilah berbagai pertanyaan penting, setelah lepas dari 23 tahun kekuasaan otoriter Ben Ali.

Seddik mengatakan lebih lanjut : “Kita berbicara sedikit tentang identitas. Tapi kita segera melupakan banyak hal lain. Misalnya, bagaimana peranan Islam dalam konstitusi. Jika bukan Islam, apa yang akan jadi landasan negara yang baru?”

Masih hadapi masa sulit

Dengan itu Seddik juga menyentil pernyataan PM transisi mendatang, Jebali dari partai Islam Ennahda, yang menyebutkan Tunisia sedang menuju pada negara kekalifahan. Para pengritik melihat, adanya agenda religius dari partai Islam tsb, yang menguasai 89 kursi dan menjadi fraksi terkuat di parlemen.

Moncef Marzouki
Presiden transisi Moncef MarzoukiFoto: picture alliance/abaca

Akan tetapi presiden transisi mendatang, Moncef Marzouki mengungkapkan dengan jelas, kendala apa yang menghadang : “Tantangan terbesar adalah perang melawan pengangguran. Berkaitan perlindungan kebebasan, khususnya perlindungan hak-hak perempuan, tercapai konsensus luas, juga di kalangan partai Islam. Tapi dalam tema ekonomi, kami harus secepatnya menyusun konsep. Sebab rakyat di negara ini, dapat dimengerti, amat tidak sabar. Kami masih akan menghadapi masa-masa sulit.“

Sistem politik baru harus secepatnya membuktikan, bahwa mereka mampu memenuhi tuntutan warga. Rakyat Tunisia memberikan mandat kekuasaan kepada para wakilnya untuk memanfaatkan waktu. Dalam waktu setahun akan digelar pemilu baru. Ini sesuatu yang baru di negara Afrika Utara tsb. Masih terjadi pergerakan di Tunisia yang ibaratnya laboratorium demokrasi negara Arab. Ini juga yang menjadi alasan untuk optimis.

“Setelah berdasawarsa penjajahan dan diktatur, tidak ada yang dapat menuntut rakyat untuk segera mengubah haluan dan langsung mencapai sebuah tatanan demokratis. Tapi kita harus memuji rakyat. Apa yang kini tercapai, benar-benar revolusioner”, tambah Seddik.

Yang jelas, di Tunisia tidak ada lagi yang dapat memerintah sendirian, seperti model partai persatuan-RCD dari zamannya diktatur Ben Ali. Menjelang sidang pertama dewan konstituante, Tunisia sudah menunjukkan jalan menuju demokrasi.

Alexander Göbel / Agus Setiawan

Editor : Andy Budiman