1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTurki

Turki Perketat Sensor Internet Jelang Pemilu Komunal

Elmas Topcu
25 Januari 2024

Turki bersiap menggelar pemilihan umum komunal pada 31 Maret mendatang. Presiden Recep Tayyip Erdogan berambisi mengalahkan kelompok oposisi di kota-kota besar, termasuk dengan membatasi akses internet secara masif.

https://p.dw.com/p/4beW7
Presiden Recep Tayyip Erdogan
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, saat mengumumkan kandidat AKP untuk pemilu komunalFoto: DHA

Genderang perang ditabuh Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, saat mendeklarasikan kandidat Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) untuk pemilu komunal 31 Maret mendatang. "Kita akan menaklukkan partai-partai oposisi di semua benteng suara mereka!," pekiknya di hadapan para simpatisan partai beberapa hari silam. Erdogan merujuk kepada kota-kota metropolitan yang menjadi kandang oposisi, yakni Istanbul, Ankara, Izmir dan Antalya. 

AKP berambisi merebut kembali kkuasaan di kota-kota yang menjadi nadi perekonomian Turki tersebut dengan segala cara, termasuk menyensor internet secara besar-besaran. Bulan Desember silam terungkap, Badan Teknologi Informasi dan Komunikasi telah memblokir 16 penyedia layanan Jaringan Privat Virtual (VPN) di Turki, tanpa melalui proses pengadilan.

Melalui layanan VPN, pengguna bisa merahasiakan lokasinya dan dengan begitu mengecoh sensor pemerintah. Tanpanya, otoritas di Turki bisa secara leluasa mendiktekan situs-situs atau jenis informasi yang bisa diakses masyarakat.

Sensor ketat dan blokade internet

Menurut catatan Asosiasi Kebebasan Berpendapat (IÖD) di Turki, pemerintah menutup akses terhadap sedikitnya 712.000 situs internet pada tahun 2022. Pemblokiran berlaku bagi 150.000 alamat URL, 9000 akun X (dulu: Twitter), 55.500 kicauan, 16.585 video YouTube, 12.000 unggahan di Facebook dan 11.150 postingan Instagram.

Menurut Füsun Sarp Nebil, pakar teknologi digital di Turki, sensor pemerintah mulai marak sejak aksi protes masal di Taman Gezi pada tahun 2013. "Sebelumnya, Turki memang memblokir sejumlah laman, tapi sensornya tidak semasif seperti sekarang," kata dia kepada DW.

Landasan hukum bagi aksi blokade pemerintah adalah UU Internet yang disahkan pada tahun 2007. Namun menurut Nebil, "dalam 17 tahun terakhir, pemerintah mengamanden naskah UU sebanyak 19 kali." Pada tahun 2020, pemerintah Turki menambahkan pasal yang mencakup media sosial. Setahun kemudian, naskah UU diperpanjang dengan pasal disinformasi.

Menurut pakar, UU tersebut menjadi instrumen utama pemerintah untuk membatasi kebebasan pers dan kebebasan berpendapat, terutama dengan banyaknya pasal karet, semisal larangan bagi "informasi palsu yang membahayakan keamanan internal dan eksternal negara."

Satelit Mini: Demokratisasi Akses Informasi

Pembatasan kritik terhadap AKP

"Alhasil, pemerintah Turki kini memblokir akses terhadap laporan-laporan kritis soal politisi AKP," kata Füsun Sarp Nebil lebih lanjut. Artikel mengenai kasus dugaan korupsi, malpraktik atau nepotisme secara cepat menghilang dari peredaran. "Sebuah surat dari seorang jaksa tahun lalu mengungkap, bahwa pemblokiran juga bisa dipesan dengan membayar uang suap," kata dia.

Pemblokiran terhadap laporan-laporan kritis juga kian marak jelang pemilu komunal, 31 Maret mendatang. Kandidat-kandidat AKP memerlukan citra yang bersih demi menjaring suara mayoritas di kantung suara oposisi.

Menurut Nebil, dengan memblokir 16 layanan VPN, pemerintah ingin menguasai arus informasi di internet. Apakah cara itu akan berhasil? "Jika sebuah pemerintahan tetap mendulang dukungan elektoral yang besar kendati mencatatkan kinerja yang buruk atau gagal mengatasi beragam krisis, maka kita bisa berasumsi bahwa taktik ini berhasil."

Namun demikian, Nebil meragukan langgam otoriter pemerintah yang diterapkan selama bertahun-tahun akan sukses, karena ironisnya itu justru melatih masyarakat untuk lebih pintar mengecoh sensor. "Dibandingkan dengan negara-negara lain, warga Turki sangat paham seluk beluk VPN," kata dia, merujuk pada pengetahuan yang luas mengenai penyedia layanan VPN alternatif. "Ini seperti permainan petak umpet. Belakangan kami justru menertawakan upaya pemblokiran oleh pemerintah semacam itu."

rzn/as