1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikIndia

Twitter Dibeli Elon Musk, Pengguna di India Resah

Ole Tangen Jr. | Murali Krishnan
6 Desember 2022

Sekalipun pesertanya tidak sebanyak media sosial lain, Twitter di India jadi penting karena sebagian besar digunakan oleh jurnalis dan aktivis untuk berbagi pesan. Masuknya Elon Musk ke Twitter membuat mereka khawatir.

https://p.dw.com/p/4KUMB
Grafik ilustrasi Twitter di India
Grafik ilustrasi Twitter di IndiaFoto: Avishek Das/SOPA/ZUMA/picture alliance

Hanya beberapa minggu setelah Elon Musk mengakuisisi Twitter, sebuah video muncul di platform tersebut yang memperlihatkan seorang mahasiswa Muslim di India bereaksi setelah dibandingkan dengan seorang teroris oleh profesor universitasnya.

"Menjadi seorang Muslim di negeri ini dan menghadapi semua ini setiap hari tidaklah lucu," kata mahasiswa tersebut kepada sang profesor.

Setelah dibagikan oleh aktivis dan jurnalis terkemuka, video tersebut menjadi viral, dengan lebih dari 3,2 juta penayangan. Sebagian besar pemirsa memuji siswa tersebut karena berani menentang prasangka, dan mereka sangat gembira ketika profesor tersebut kemudian diskors oleh universitas.

Dengan Twitter, "kami dapat segera membunyikan alarm tentang tindakan keras apa pun terhadap hak asasi manusia, dan menyebarkan berita kepada warga yang peduli serta para jurnalis sejati," kata Kavita Krishnan, seorang aktivis hak-hak perempuan terkemuka.

Sekarang para aktivis dan jurnalis bertanya-tanya apa dampak pengambilalihan Twitter oleh Elon Musk. India adalah pasar ketiga terbesar Twitter, setelah Amerika Serikat dan Jepang.

Kantor pusat Twitter di San Fransisco
Kantor pusat Twitter di San FransiscoFoto: Stephen Lam/San Francisco Chronicle/AP/picture alliance

Pentingnya Twitter di India

Apar Gupta, direktur Internet Freedom Foundation (IFF), sebuah organisasi yang berbasis di New Delhi, mengatakan kepada DW bahwa moderasi konten adalah kunci untuk memungkinkan aliran ide yang bebas sambil melindungi pengguna dari penyalahgunaan dan dari konten kebencian. Tapi untuk itu, Twitter perlu lebih banyak pegawai.

"Tidak ada sumber daya yang cukup untuk pengawasan guna memastikan bahwa praktik pencopotan (konten) dilakukan dengan benar," kata Apar Gupta.

"Dalam gambaran besar, Twitter memiliki jumlah pengguna aktif yang sangat kecil di India - hanya 24 juta - dibandingkan dengan Facebook atau YouTube, yang jumlahnya mencapai ratusan juta," tambahnya. "Meskipun kecil," lanjutnya, "Twitter berdampak besar karena banyaknya jurnalis, politisi, dan aktivis yang menggunakannya."

Tetapi media sosial, termasuk Twitter, juga sering digunakan untuk menyerang minoritas tertentu dan menyebarkan ujaran kebencian dan disinformasi. Wartawan investigasi Ismat Ara mengatakan kepada DW bahwa dia telah mengalami ujaran kebencian dan serangan di Twitter.

Awal tahun ini, gambar dirinya yang telah direkayasa dibagikan di situs tiruan online untuk perempuan Muslim dan kemudian menyebar di media sosial. Dia memutuskan untuk memposting gambar itu sendiri. "Saya bukan satu-satunya yang menjadi sasaran," tulisnya di postingan tersebut. Meski begitu, Ara tetap menjadi penggemar Twitter.

"Platform media sosial seperti Twitter adalah pilihan terakhir bagi mereka yang masih berbicara tentang hal-hal yang benar. Saya pikir, Twitter harus fokus pada penghapusan akun palsu dan juga penyelesaian cepat masalah terkait pelecehan seksual terhadap perempuan secara online,” katanya.

Elon Musk membeli Twitter dan langsung melakukan pemecatan massal
Elon Musk membeli Twitter dan langsung melakukan pemecatan massal, termasuk seluruh jajaran direkturnyaFoto: Carina Johansen/NTB/AFP/Getty Images

Sengketa hukum dengan pemerintah India

Masalah lain yang harus dihadapi Twitter adalah perselisihan jangka panjang antara Twitter dan Partai Bharatiya Janata (BJP) dari Perdana Menteri Narendra Modi. Menurut Twitter, pemerintah India telah berusaha menekan perbedaan pendapat dengan meminta Twitter untuk memblokir akun yang mengkritik partai tersebut.

Pemerintah India menggunakan Undang-Undang Teknologi Informasi untuk menegur Twitter dan situs media sosial lainnya agar memblokir konten yang bertentangan dengan "kepentingan kedaulatan India." Banyak yang melihat undang-undang ini sebagai alasan untuk mengintimidasi dan membungkam politisi, jurnalis, dan aktivis oposisi.

Dengan hampir 85 juta pengikut, Narendra Modi adalah salah satu politisi yang di media sosial paling banyak diikuti di dunia. Namun, para kritikus menuduh perdana menteri India menggunakan media sosial untuk mempromosikan nasionalisme Hindu dan menyerang para kritikus, jurnalis, dan minoritas Muslim. Bagaimana Elon Musk akan bereaksi setelah memiliki Twitter, masih belum jelas.

Kalau ujaran kebencian makin banyak, "Twitter akan ditinggalkan”

"Twitter telah menjadi alat yang tak ternilai bagi jurnalis, tetapi semakin menjadi sasaran manipulasi politik terorganisir. Pengambilalihan Musk yang berantakan menunjukkan percepatan proses ini, semakin merusak platform yang sudah menurun," kata Hartosh Singh Bal, editor politik The Caravan.

Seperti banyak pengguna media sosial di India, Shashi Tharoor, seorang politisi terkemuka dan anggota parlemen dari Partai Kongres, telah mengikuti perkembangan di Twitter dengan penuh perhatian. "Banyak yang siap untuk memilih alternatif, jika ada dorongan," kata Tharoor kepada DW.

Aktivis hak digital Apar Gupta setuju. Dia berpendapat, jika Twitter di masa depan mengarah pada peningkatan ujaran kebencian dan disinformasi, banyak orang India akan keluar. "Tanpa Twitter menjadi tempat yang aman untuk bercakap-cakap, saya rasa perusahaan tidak akan bisa sukses di negara ini."

(hp/pkp)