1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ulama Perempuan Larang Pernikahan Anak

28 April 2017

Kongres Ulama Perempuan yang berlangsung di Cirebon mengeluarkan fatwa pelarangan pernikahan anak di bawah usia 18 tahun, sebagai upaya untuk menghentikan gadis-gadis muda menikah di bawah umur.

https://p.dw.com/p/2c34E
Bangladesch Kinderheirat
Foto: Getty Images/A. Joyce

Fatwa yang dikeluarkan para ulama perempuan hari Kamis (27/04) menyebutkan pernikahan anak di bawah umur itu "berbahaya" dan wajib dicegah. "Angka kematian ibu sangat tinggi di Indonesia. Kami sebagai ulama perempuan – dapat mengambil peran dalam mengatasi masalah pernikahan anak," ujar penyelenggara konferensi Ninik Rahayu.

"Ulama perempuan mengetahui isu dan hambatan yang dihadapi kaum perempuan. Kita bisa mengambil tindakan dan tidak hanya menunggu pemerintah untuk melindungi anak-anak ini," ujarnya kepada kantor berita Reuters lewat sambungan telepon dari Cirebon, dimana berlangsungnya kongres ulama perempuan.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan catatan terburuk dalam hal pernikahan anak  di bawah umur. Satu dari enam anak perempuan di Indonesia menikah sebelum mereka berusia 18 tahun. Jumlahnya mencapai sekitar 340.000 anak perempuan  per tahun. Sementara sekitar 50.000 anak perempun  menikah sebelum mereka berusia 15 tahun, demikian menurut  badan PBB urusan anak-anak, UNICEF.

Di bawah hukum Indonesia, batas usia minimum pernikahan untuk perempuan adalah 16 tahun, dan 19 tahun bagi pria.

Fatwa berdasar studi

Dalam mengeluarkan fatwa tersebut, para ulama perempuan mengutip beberapa penelitian yang meneliti banyak pengantin anak Indonesia tidak dapat melanjutkan studinya setelah menikah dan setengah dari perkawinan itu berakhir dengan perceraian.

Mereka mendesak pemerintah menaikkan batas usia pernikahan minimum untuk perempuan menjadi 18 tahun. Telah sekian lama para pegiat isu perempuan mengupayakan tuntutan serupa.

Pernikahan dini tidak hanya membuat perempuan berhenti sekolah, namun juga  meningkatkan risiko eksploitasi, kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan kematian saat persalinan, demikian diungkap para aktivis perempuan.

Diikuti ulama dan tokoh perempuan mancanegara

Sekitar 300 peserta ambil bagian dalam kongres ulama perempuan tersebut, termasuk para ulama  dan tokoh perempuan  dari Afghanistan, Pakistan dan Malaysia. Konferensi  yang berlangsung selama tiga hari ini sebagai pertemuan pertama di dunia.

Kongres tersebut juga mengeluarkan dua fatwa lainnya, di antaranya soal bagaimana mengatasi kerusakan lingkungan dan kekerasan seksual, dan hak asasi manusia.

 

ap/vlz(rtr)